"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis pusat pendidikan bahasa Mandarin itu menyambut ramah tamunya, seorang ibu setengah baya berambut hitam pendek. Perempuan itu mengenakan gaun terusan selutut bernuansa hitam putih. Lengan pendek gaunnya memperlihatkan sepasang tangan yang kurus dan ringkih.
"Tolong tanya, apakah di sini ada guru yang bernama Lana?"
"Oh, iya ada. Lan Laoshi sedang mengajar privat di dalam kelas sekarang. Jam dua belas nanti selesai dan beliau istirahat makan siang. Apakah Ibu bersedia menunggu?"
Wanita bertubuh kurus itu melirik jam tangan mewah yang dipakainya. Menunggu lima belas menit lagi, gumamnya dalam hati. Tak apalah. Masalah ini harus diselesaikan secepatnya, karena waktuku tak lama lagi...
"Ok, saya tunggu."
Lalu dia bergerak menyusuri dinding ruangan. Terpampang di hadapannya foto-foto para murid dan guru berpose di Tian An Men Square, Forbidden City, Great Wall, dan tempat-tempat bersejarah Tiongkok lainnya. Dilihatnya sosok gadis muda yang sangat dikenalnya. Berkulit kuning langsat, berambut lurus sebahu, dan memiliki dua lesung pipi yang langsung menonjol keluar ketika sedang tersenyum. Lesung pipi yang berhasil menjerat hati suamiku, keluhnya dalam hati.
"Ini Lan Laoshi, kan?" tanyanya pada resepsionis sambil mengarahkan jari telunjuknya tepat pada sosok gadis berlesung pipi di foto itu.
"Benar, Bu. Itu foto Lan Laoshi ketika masih menjadi murid di sini. Beliau mengikuti study tour di Beijing selama seminggu dan kemudian pulang kembali ke Surabaya. Lalu Lan Laoshi mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Beijing dan menamatkan jenjang S1 Sastra Tionghoa di sana."
Ya, aku tahu itu semua. Karena aku turut membiayainya. Beasiswa dari tempat kursus ini hanya berapa puluh persen saja dari total biaya pendidikan di sana. Biaya hidup juga tidak ditanggung. Ah, Lana...sudah lima tahun lebih kita tidak bertemu. Menurut perhitunganku, mestinya sudah setahunan kamu mengajar bahasa Mandarin di tempat ini. Tetapi baru kali ini aku memberanikan diri datang menemuimu. Karena posisiku sudah terdesak..., batinnya penuh kegetiran.
Kriiiinnggg!
Terdengar dering bel berbunyi. Diliriknya jam tangannya lagi, jam dua belas pas. Sebentar lagi kami akan bertemu. Tolong kuatkanlah hatiku ya, Tuhan.