"Mama sudah lama memaafkannya, Maria. Tapi Mama juga manusia biasa yang mempunyai kelemahan. Mama tidak sanggup hidup bersama laki-laki yang telah berselingkuh dengan...kakak kandung Mama sendiri."
Aku mengangguk tanda mengerti. Kupeluk ibuku dengan penuh kasih sayang. Tiba-tiba kulihat Eyang berjalan tertatih-tatih menghampiri kami. Wajahnya semakin menua. Rambutnya dibiarkan memutih alami tanpa semiran lagi. Sejak peristiwa terbongkarnya aib Tante Karin dan ayahku itu, sepertinya Eyang mulai kehilangan gairah hidup.
"Ini buku tabungan Ibu. Ada sejumlah uang hasil penjualan rumah kita dahulu. Pakailah untuk membeli rumah buat tempat tinggal kita. Kalau ada sisa, ambillah semuanya untuk tabungan hari tuamu, Rina," ujar nenekku itu kepada Mama. Kami berdua terkejut. Tabungan itu adalah harta satu-satunya Eyang sepeninggal Eyang Kakung. Lalu pecahlah isak tangis nenekku itu.
Direngkuhnya kedua telapak tangan Mama dan diciuminya sambil berlinangan air mata. "Aku berdosa besar sudah menjodohkanmu dengan Teddy, Anakku yang baik. Aku juga seringkali pilih kasih terhadap Karin, kakakmu yang akhirnya justru menghancurkan keluarga kita.
Tuhan telah membukakan mata hatiku, Rina. Ternyata segala sesuatu yang kelihatan sempurna dari luar itu belum tentu benar adanya. Ampuni ibumu yang bodoh ini. Rina..., ampuni aku...," seru Eyang seraya menangis sesenggukan.
Mama memeluk ibu kandungnya itu dan menghiburnya dengan kata-kata yang menenangkan hati, sebagaimana kebiasaannya selama ini yang membawa kedamaian bagi orang-orang di sekitarnya. Eyang lalu berpaling kepadaku. Tangannya membelai-belai rambutku dengan penuh kehangatan. "Eyang juga telah bersikap tidak adil kepadamu selama ini, sama seperti aku memperlakukan ibumu. Maafkan nenek tua yang tidak tahu diri ini ya, Maria."
Aku mengangguk tanda mengerti. Kupeluk tubuh renta itu dengan perasaan campur-aduk. Bahagia dan lega rasanya akhirnya diterima Eyang dengan sepenuh hati. Lalu aku teringat Martha. Aku sungguh merindukannya. Pertemuan kami yang terakhir kali adalah ketika dia menceritakan pertengkaran kedua orang tuanya.Â
Selanjutnya kami hanya berhubungan melalui pesan WA di ponsel. Luka yang menganga diantara kami berdua terlalu dalam sehingga membuat kami mungkin lebih baik menjaga jarak untuk sementara waktu.
"Maria...," ujar Eyang dengan suara terbata-bata, "Mulai sekarang tekunlah berdoa agar dirimu kelak memperoleh jodoh yang terbaik di mata Tuhan. Manusia bisa berusaha, tapi biarlah Tuhan menentukan yang terbaik menurut caraNya sendiri. Bibit, bebet, dan bobot yang baik itu sebenarnya cara yang dipandang tepat oleh orang-orang tua untuk menentukan jodoh yang terbaik bagi anaknya.
Tapi...pandangan tersebut seringkali justru...menyesatkan orang untuk melihat segala sesuatu hanya dari permukaannya saja...."
Aku tersenyum lega mendengar penuturan nenekku barusan. Tuhan akhirnya membukakan jalan bagiku untuk memperkenalkan Mama dan Eyang pada Edo, seniorku di kampus yang menjalin hubungan dekat denganku setahun terakhir. Selama ini aku tidak percaya diri mengajaknya datang ke rumah karena latar belakangnya yang tidak sesuai dengan kriteria Eyang.Â
Pemuda bertubuh tegap yang hanya berusia setahun lebih tua dariku itu adalah seorang anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan semenjak masih bayi. Hingga kini ia tidak mengetahui siapa ayah dan ibu kandungnya. Karena kecerdasannya, Edo berhasil menempuh pendidikan di universitas dengan beasiswa penuh dan tinggal di rumah kos dekat kampus.
Berkat keuletannya bekerja sebagai guru les privat bahasa Inggris sejak masih duduk di bangku SMA, ia mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan bahkan bisa menabung untuk masa depan. Aku sangat mengagumi kegigihannya dalam menjalani hidup dan lambat laun jatuh hati kepadanya.Â
Mendengarkan petuah Eyang tadi yang sudah tidak terlalu mengutamakan bibit, bebet, dan bobot dalam memilih pasangan hidup, membuatku mulai bersemangat untuk memperkenalkan Edo pada keluargaku. Ya Tuhan, semoga mereka menyukainya, batinku penuh harap.
***
Pada suatu pagi yang cerah enam tahun kemudian, aku dan Edo mengucapkan janji suci pernikahan di gereja. Acara sakral tersebut disaksikan oleh keluargaku, sahabat-sahabatku dan Edo, serta para pengurus panti asuhan tempat Edo dibesarkan.
Eyang duduk bersama Martha yang hadir ditemani kekasihnya, seorang pria bule berkebangsaan Jerman. Mereka berkenalan ketika Martha mendapatkan beasiswa untuk kuliah di negeri itu. Mama duduk berdampingan dengan suami barunya yang merupakan teman sekelasnya waktu SMP. Mereka bertemu kembali dua tahun yang lalu di acara reuni sekolah dan menjalin kedekatan hingga akhirnya menikah setahun kemudian.
Pria berpostur tinggi gempal berkacamata dan berkumis tipis itu adalah seorang duda tanpa anak yang ditinggal berpulang istrinya akibat kanker payudara. Dia menjual rumahnya yang penuh kenangan dengan almarhumah istrinya, lalu tinggal bersama ibu dan nenekku di rumah kami. Aku turut senang melihat Mama tampak bahagia menempuh hidup baru.
Sebaliknya ayahku datang sendirian ke upacara pernikahanku. Tubuhnya menjadi semakin kurus sejak menjalani operasi bypass jantung delapan bulan sebelumnya. Aku jadi sering tinggal di rumah lamaku untuk menemani dan merawatnya. Edo merasakan kekuatiranku atas kondisi kesehatan Papa yang semakin menurun. Ia setuju ketika aku mengusulkan agar kami tinggal bersama Papa setelah menikah.
Tante Karin tidak tampak batang hidungnya. Menurut Martha, ibunya yang masih tetap menjadi single parent itu sibuk mengurusi toko-toko kuenya yang sudah berjumlah 4 outlet di kota ini.Â
Sesekali dia masih berkumpul dengan kawan-kawan sosialita-nya demi menjaga hubungan baik. Perang dingin antara Eyang, Mama, dan Tante Karin lambat-laun mencair.Â
Tanteku yang biasanya gengsian itu datang ke rumahku dan meminta maaf kepada Mama dan Eyang. Pada mulanya kedua wanita yang merasa tersakiti itu sama sekali tidak menggubrisnya. Namun karena keuletan ibunda Martha itu berkali-kali datang dan menunjukkan penyesalannya, akhirnya Mama dan Eyang pun memaafkannya.
Menurutku Tante Karin sengaja tidak menghadiri pernikahanku karena merasa enggan bertemu dengan ayahku. Martha sendiri tetap memanggil ayahku dengan sebutan Om Teddy. Di dalam lubuk hatinya, dia hanya mengakui keberadaan Om Guntur, pria yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang sejak kecil, sebagai ayahnya .Â
Adikku itu masih menjalin hubungan baik dengan manta suami Tante Karin itu. Katanya papanya akan menikah bulan depan dengan seorang janda cantik yang telah ditinggal berpulang suaminya akibat kecelakaan lalu-lintas. Perempuan yang usianya masih pertengahan tiga puluhan itu memiliki dua anak laki-laki yang masih duduk di bangku sekolah dasar.Â
Benar-benar sesuai dengan impian Om Guntur untuk mempunyai anak laki-laki karena dirinya telah memiliki Martha sebagai anak perempuannya.
Tragedi dalam keluarga kami berakhir dengan baik sesuai keadilan Tuhan. Semua pihak menuai apa yang ditaburnya masing-masing.Â
Aku banyak mengambil hikmah dari segala peristiwa itu dan berdoa semoga mahligai perkawinanku dengan Edo mampu bertahan sampai maut memisahkan kami. Amin.
Selesai
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H