Mohon tunggu...
Sofia Grace
Sofia Grace Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga yang hidup bahagia dengan suami dan dua putrinya. Menggeluti dunia kepenulisan sejak bulan Oktober 2020. Suka menulis untuk mencurahkan isi hati dan pikiran. Berharap semoga tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah untuk Ibu (1)

26 Juli 2022   00:13 Diperbarui: 26 Juli 2022   00:15 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pokoknya aku tidak mau menempati rumah itu!" seru wanita tua itu dengan lantang. 

Laki-laki muda di hadapannya diam saja tanpa ekspresi. Dia tahu ibu kandungnya tidak bisa dipaksa melakukan hal yang tidak dikehendakinya. "Aku lebih suka menghabiskan masa tuaku di kamar kos sederhana ini. Bisa bebas melakukan apapun yang kusuka, pergi kemana saja kakiku ingin melangkah, dan tidak ada yang mencampuri urusanku," tambah perempuan yang rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban itu.

"Berarti Ibu akan menempati kamar kos ini sampai akhir hayat Ibu?!" tanya si anak dengan nada suara mulai meninggi.

"Iya!" seru sang ibu makin lantang.

"Seandainya aku meminta Bang Joni sekeluarga untuk bersama Ibu menempati rumah itu bagaimana?" tanya pria berkacamata minus itu menyudutkan.

Sang ibu tercekat. Terbayang raut wajah memelas putra tercintanya itu bersama Yani, istrinya yang pemurung dan Sony, anak semata wayang mereka yang juga merupakan cucu kesayangannya. "Baiklah. Ibu mau menempati rumah baru yang engkau belikan itu, asalkan kakakmu dan anak-istrinya menemaniku tinggal di sana,"jawab wanita itu dengan nada suara penuh kemenangan. Akhirnya setelah bertahun-tahun menanti, dirinya bisa tinggal seatap dengan Joni, putra sulung yang sangat dikasihinya.

Romy, si putra bungsu, menatap ibundanya dengan sorot mata penuh kekecewaan. Hingga kini ia tidak dapat memahami kenapa ibunya begitu memanjakan kakaknya yang malas bekerja dan bisanya meminta-minta uang darinya maupun ibunya. Kali ini dirinya pun terpaksa mengalah. Dengan berat hati ia mengijinkan kakaknya sekeluarga menemani sang ibu menempati rumah baru model minimalis yang dibelinya dari hasil kerja kerasnya bersama istrinya selama bertahun-tahun.

***

"Yang penting Ibu bahagia,"ujar Ana tanpa beban. Romy menatap istrinya dalam-dalam. "Kau tidak apa-apa mereka menempati rumah itu?"

Perempuan cantik berusia tiga puluhan itu tersenyum bijaksana. "Bang Joni dan Kak Yani memang sering merepotkan. Ibu pun menyadari hal itu. Tetapi dia sangat suka berkumpul dengan mereka. Ya sudahlah, usia Ibu sudah tujuh puluh tahun lebih. Biarlah dia berbahagia dengan caranya sendiri."

Romy termenung. Ingatannya kembali ke sepuluh tahun silam ketika dirinya dan Ana baru menikah. Mereka tinggal bersama Ibu di sebuah rumah kontrakan. Awalnya sang mertua dan menantu tampak rukun. Lalu perlahan-lahan keharmonisan itu retak karena Joni dan Yani yang tinggal di rumah ibu Yani di dekat situ juga, ternyata suka menitipkan cucian hariannya di rumah Romy, mengambil makanan dan minuman di dalam kulkas maupun di atas meja makan sesukanya, dan meminta-minta uang kepada Ibu. Kebiasaan buruk mereka itu akhirnya terendus oleh Ana. Ia geram sekali karena merasa pasangan suami-istri itu sangat keterlaluan sudah memperlakukan Ibu bagaikan tukang cuci-setrika, koki, maupun banker mereka. Ia tidak menyukai cara kakak-kakak iparnya itu memanfaatkan kasih sayang sang ibunda.

Padahal mereka berdua bekerja kantoran dan mendapatkan gaji. Namun Yani tidak pernah mau bahu-membahu dengan suaminya membiayai rumah tangga. Baginya hal itu adalah kewajiban Joni sebagai kepala rumah tangga. Pendapatannya disimpannya baik-baik dan hanya dipergunakan sesekali untuk kebutuhannya sendiri maupun anaknya. Sedangkan suaminya yang sering bergonta-ganti pekerjaan, penghasilannya tidak pernah cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga mereka sepenuhnya.

Akhirnya Joni kerap meminta bantuan kepada Ibu yang notabene mendapatkan uang dari Romy setiap bulannya. Dan kebiasaan memberikan uang akhirnya berlanjut jauh ke hal-hal lainnya seperti memberikan makanan, pakaian, vitamin, dan obat-obatan bagi keluarga kecil Joni, bahkan mencucikan dan menyeterikakan pakaian-pakaian mereka, membiayai perjalanan berlibur ke luar kota, dan lain sebagainya. Lambat-laun Ana merasa jengkel. Terutama ketika sang mertua jatuh sakit dan kedua kakak iparnya itu tidak mempedulikannya. Ana-lah yang mengantarkannya untuk rawat inap di rumah sakit. Tentu saja Romy yang menanggung semua biayanya. Kedua kakak iparnya hanya menjenguk Ibu sesekali saja.

Dan pada suatu hari ketika Ana sedang berada di dalam kamar mandi rumah sakit, tak sengaja ia mendengar suara Joni meminta uang kepada Ibu dengan alasan untuk biaya perpisahan sekolah taman kanak-kanak Sony, putra semata-wayangnya. Detik itu pula Ana yang sudah lama sekali memendam amarah, segera membuka pintu kamar mandi dan menegur kakak kandung suaminya itu dengan suara lantang. Ia merasa tidak pantas laki-laki tinggi besar itu masih tega meminta uang kepada ibunya di kala beliau sedang dalam keadaan sakit.

Lelaki itu terkejut, tak menyangka adik iparnya berada di sana. Ia tertunduk malu. Yani, istrinya, diam saja dengan wajah cemberut. Peristiwa menegangkan itu berakhir dengan kepergian Ana dari rumah sakit akibat dicaci-maki oleh ibu mertuanya karena dianggap tidak sopan menegur Joni yang notabene lebih tua. Dan ucapan mematikan Ibu yang membuatnya sakit hati adalah:"Apa hakmu sebagai menantu melarangku memberikan uang kepada anak kandungku?! Kalau engkau tidak menyukainya, maka enyahlah dari hadapanku!"

Sang menantu tanpa berpikir panjang segera angkat kaki dari ruangan itu. Ia pulang ke rumah kontrakan, menaruh semua pakaian dan barangnya ke dalam koper, kemudian pergi meninggalkan rumah itu untuk selama-lamanya. Akhirnya ia mengajak suaminya mengangsur sebuah rumah sederhana dari penghasilan mereka berdua. Ibu tinggal sendirian di rumah kontrakan. Joni dan Yani tidak menemaninya tinggal di rumah itu dengan alasan tidak mau merepotkan Ibu untuk merawat Sony yang masih kecil, ketika mereka berdua bekerja di siang hari. Biarlah ibu Yani yang merawat Sony sehari-hari seperti sebelumnya.

Ketika masa sewa rumah kontrakan berakhir, perempuan bertubuh mungil itu memutuskan untuk kos saja di dekat rumah ibu Yani, supaya masih bisa bertemu Joni dan anak-istrinya setiap hari.

Romy dan Ana kemudian dikaruniai seorang anak perempuan dan mereka tetap menjalin silaturahmi yang baik dengan Ibu. Biaya hidup Ibu ditanggung sepenuhnya oleh Romy dan ia selalu tutup mata setiap kali ibunya meminta uang lebih dengan alasan ada kenaikkan uang kos-lah, butuh membeli suplemen untuk kesehatan tubuh-lah, ada anak teman yang menikah-lah, ada saudara jauh yang meninggal-lah, dan lain sebagainya. Pria berpostur tegap itu tidak ingin bertengkar dengan ibunya. Ia langsung memberikan uang yang diminta Ibu dan bergegas pamit pulang karena tidak tahan mendengarkan kebohongan ibunya lebih jauh lagi.

Tahun demi tahun berlalu. Romy dan istrinya semakin mapan secara finansial. Mereka pun pindah ke rumah baru yang lebih besar. Setelah rumah itu lunas angsurannya, mereka membeli rumah baru satu lantai bergaya modern dengan tujuan untuk diberikan kepada sang ibu tercinta. Dan ternyata sang bunda bersedia menempati rumah itu hanya jika ditemani oleh sang putra sulung sekeluarga. Ibu mertua Joni telah meninggal dunia setahun lalu dan katanya rumahnya akan dijual untuk dibagi hasilnya antara Yani dan kakak kandungnya.

"Sepertinya tidak ada jalan lain," cetus Romy. "Benar katamu, biarlah Ibu berbahagia dengan caranya sendiri. Akan kutelepon Bang Joni untuk segera membawa keluarganya menempati rumah itu bersama Ibu."

Ana mengangguk. Dikecupnya kening suaminya dengan penuh kasih sayang.

***

Beberapa hari kemudian Romy, Ana, dan putri mereka menemani Ibu, Joni, Yani, dan Sony melihat-lihat rumah baru tersebut. Rumah mungil yang nyaman, dengan dua kamar tidur dan satu kamar pembantu. Perabotan seperti sofa dan meja makan di ruang keluarga, tempat tidur dan lemari pakaian di tiap-tiap kamar, alat pemanas air di kamar mandi utama, peralatan memasak di dapur, dan lain sebagainya sudah tertata dengan rapi. Ana yang menyusun semuanya itu sedemikian rupa sehingga penghuni rumah ini hanya perlu membawa koper berisi perlengkapan-perlengkapan pribadinya dan langsung menatanya di tempat yang telah disediakan.

Ibu, Joni, Yani, dan Sony tampak menyukai rumah itu beserta isinya. Mereka juga senang dengan lingkungannya yang asri, banyak pepohonan, ada lapangan terbuka untuk berolahraga, serta minimarket yang menjual kebutuhan sehari-hari.

"Ini kamar utama,"kata Romy kepada ibunya. "Ibu menempati kamar ini saja."

Yang diajak berbicara diam saja, malah Joni yang spontan menyeletuk, "Kalau begitu aku dan Yani menghuni kamar satunya."

"Lalu mana kamar untuk Sony?" cetus putra tunggal Joni.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun