Paman badut hidungnya merah. Mukanya putih seperti cat tembok. Rambutnya keriting. Pakai topi kerucut. Anak-anak mengerumuni paman badut.
Saya bosan dengan mainan balok, jadi saya menggambar paman badut yang membungkuk. Dia membagikan bingkisan.
Sekarang paman badut melompat-lompat ke tempat saya. Anak-anak juga ikut. Dia menaruh bingkisan di meja dekat saya. Lalu pergi lagi ke dekat panggung, jannya melompat-lompat.
Paman badut sudah selesai membagikan bingkisan. Dia duduk dekat saya. Anak-anak sudah tidak mengikutinya. Mereka menunggu kue yang mau dipotong.
"Itu apa", paman badut menunjuk gambar saya.
Saya menunjuk ke muka paman badut. Saya menyodorkan gambar saya ke paman badut. "Untuk saya?", tanya paman badut. Saya mengangguk-angguk.
Paman badut menggambar dirinya sendiri. Ada anak kecil di dekatnya.
"Namamu siapa", paman badut bertanya ke saya. Saya menulis nama saya di kertas. Paman badut menulis 'Dafi' di dekat gambar anak kecil. Paman badut memberikan kertasnya ke saya.
Di gambar itu Paman badut wajahnya mencolok. Kalau saya pakai baju seperti Paman badut mungkin saya juga jadi terlihat. Tapi meski tidak pakai baju badut, paman badut bisa melihat saya.
Paman badut kembali duduk dekat saya. Dia membawa dua piring kue dan menemani saya sampai acaranya selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H