Mohon tunggu...
Farzana
Farzana Mohon Tunggu... Wiraswasta - A Writer, A Counselor

Ditulis aja dulu, sempurnanya belakangan. Instagram, Twitter : @sofiafarzanah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Perempuan, Masihkah Puan Jadi Manusia Nomor Dua?

8 Maret 2021   21:01 Diperbarui: 9 Maret 2021   05:41 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi Covid-19 membuat semua jobdesc bertambah, permasalahan meningkat, disisi lain sekolompok orang yang berjuang dan bangkit dari keterpurukan. 

Perempuan menjadi orang yang bebannya dua kali lebih berat. Loh kenapa? Karena ia seketika berubah menjadi guru dadakan untuk anak-anaknya yang sudah biasa belajar di Sekolah, bisa dibayangkan bagaimana kesabaran yang harus di restart berkali-kali karena mengontrol mood anak atau diharuskan mengerjakan tugas anaknya. 

Sebagian perempuan sibuk dan kepayahan memutar otak untuk memfasilitasi anak-anaknya belajar online. Beberapa lainnya mengembangkan kemampuannya untuk menambah penghasilan, karena banyak sekali yang di rumahkan atau suaminya yang diputus hubungan kerja. 

Belajar dan menambah skill memasak, menjahit, marketing, edit sederhana bahkan mengikuti kelas-kelas online dilakukan perempuan. 

Kabar baik datang dari semangat perempuan yang menggebu. Ternyata masih ada kabar sedihnya, tercatat sudah meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mana korbannya adalah perempuan dan anak. 

Umumnya karena faktor ekonomi yang berdampak akibat panjangnya masa pandemi. Selain itu, perselingkuhan, perceraian, kekerasan seksual dan verbal rasanya tak henti-hentinya didapatkan oleh makhluk yang berasal dari tulang rusuk ini.

Kasus yang terus menerus terjadi ini dinilai adanya bias gender. Anggapan laki-laki masih mendominasi alias patriarki atau punya kuasa penuh atas segala hidup perempuan. 

Dominasi tersebut punya peran dari Negara, Pemerintahan, Sekolah, Keluarga dan Lingkungan kerja seolah membentuk pemikiran dan pembenaran dominasi kaum laki-laki. Adanya ketimpangan di Hukum dan sosial seperti pekerjaannya, dan aturan atau undang-undang yang menempatkan perempuan berhak bergaji lebih rendah, atau mendapatkan perlakuan yang dianggap wajar.

Bias gender ini yang masih disalah artikan. Faktanya, masih banyak yang menilai bahwa kesetaraan membuat perempuan akan merebut bahkan merendahkan kaum laki-laki sehingga perempuan melupakan tugas lahiriah yang biasa disebut dapur, sumur, kasur. 

Dipandang sebagai satu-satunya manusia yang wajib memenuhi aturan atau paksaan. Padahal, perlu dibangun komunikasi dan kesepakatan bahwa pemikiran antara suami dan istri setara atas nama pembagian tugas.

Pelebelan gender menjadi standar fungsi manusia yang nyatanya tidak semua dimiliki seorang perempuan atau laki-laki. Misalnya pelabelan sifat, perempuan dicap Feminin (lemah dan penurut) dan laki-laki dianggap Maskulin (kuat dan tegas) sehingga seseorang yang tidak sesuai dengan standar label tersebut dianggap menyimpang. 

Label lingkup fungsi, perempuan fungsi reproduktif (Pencari nafkah tambahan) dan laki-laki label fungsi produktif (pencari nafkah utama, kepala keluarga), tapi pada kenyataannya perempuan ada bahkan banyak yang menjadi pencari nafkah utama dengan beragam alasan. 

Terlihat jelas bahwa perempuan juga punya hak hidup yang sama. Selain dari kewajibannya dan fungsi seks nya (yakni mengandung, melahirkan dan mengasuh) perempuan punya hak dalam berbagai sektor, seperti pendidikan, jabatan sektoral, ekonomi, dan lainnya. 

Harapan terbesar selanjutnya adanya perlindungan dari undang-undang untuk kaum perempuan yang mana jika ada kekerasan seksual dalam bentuk apapun, perempuan bisa langsung berlindung pada negara

Hari Perempuan Internasional 2021 diharapkan perempuan bangkit dan berdaya. Merdeka atas pilihannya sendiri juga merangkul sesama mencegah hal-hal yang tidak sepatutnya terjadi pada perempuan dan anak. 

Seperti kutipan dari Direktur PBB "Kita membutuhkan perwakilan perempuan dalam berbagai keberagaman dan kemampuan, melintasi berbagai budaya, sosial, ekonomi dan situasi politik. Ini lah cara satu-satunya kita bisa mendapatkan perubahan di masyarakat yang melibatkan wanita dalam pengambilan keputusan yang setara dan menguntungkan kita semua," ujar Phumzile Mlambo-Ngcuka. 

Yang juga mengkampanyekan "Choose to Challange" yang bertujuan memperjuangkan kesetaraan dari bias gender serta stereotipe kaum perempuan yang masih melekat pada umumnya.

Lalu sudah bangkitkah teman-teman perempuan? Yuk sama-sama berdaya dan berkarya untuk generasi yang lebih aman dan lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun