Kamu lihat dia, anaknya sopan banget, santun juga kalau ngomong. Itu teman sekelas kamu kan?, tanya seorang wanita paruh baya yang  duduk di samping saya ketika pengajian di sebuah masjid dekat rumah.
Iya tante, dia teman kelas saya. Namanya Sari
Coba deh kamu kaya dia, sopan banget, pasti dia anaknya baik banget, senang tante lihatnya
Hmmm, Iya tante
Sari, seorang teman yang baru pertama kali mengikuti pengajian  di masjid setiap Jumat sore, telah membuat wanita paruh baya alias tante saya sendiri merasa terkesan. Melempar senyum dan menunduk ditambah suara yang lembut, seketika menjadi pusat perhatian ibu-ibu pengajian di sore itu. Saya maklumi, mungkin ini karena kali pertama.
Di setiap kali pertama dalam sebuah pertemuan atau yang semacamnya, semua orang tentu akan bersikap seperti apa yang dilakukan Sari. Namun, sebagian orang akan langsung menyimpulkan bahwa Sari adalah anak dengan kepribadian yang baik, padahal baru pertama kali bertemu.
Contoh lain seperti pertama kali melihat selebriti yang melakukan kegiatan amal atau cara berbicara dan berpakaian mereka yang dianggap sopan, sebagian orang akan langsung menyimpulkan bahwa selebriti tersebut memiliki kepribadian yang sangat baik, padahal mereka tidak tahu kehidupan yang sebenarnya, saya tidak mengatakan semua selebriti itu buruk loh ya.
Sebaliknya, ketika melihat orang yang tatoan, bajunya robek-robek, bicaranya ceplas-ceplos, sebagian orang dengan tidak segan langsung menyimpulkan bahwa "lihat deh, tatoan udah gitu bajunya robek-robek, kepribadiannya pasti buruk".
Penyimpulan ini sebenarnya adalah Bias Kognitif atau sebuah kesalahan dalam berpikir yang biasa disebut dengan Halo Effect, yang mana kesan pertama dalam sebuah pertemuan mempengaruhi perasaan dan pemikiran kita terhadap karakter seseorang.
Penampilan fisik yang tinggi dan menarik dianggap lebih cerdas
Pada tahun 1920, Psikolog Edward Thorndike yang pertama kali mengenalkan istilah Halo Effect dalam makalahnya yang berjudul "The Constant Error in Psychological Ratings". Dalam penelitiannya, Edward Thorndike meminta seorang perwira komandan militer untuk mengevaluasi para prajurit bawahannya berdasarkan kepemimpinan, penampilan fisik, kecerdasan, hingga loyalitas.
Hasilnya, penilaian terlalu condong terhadap penampilan fisik prajurit. Prajurit dengan penampilan fisik yang tinggi dan menarik dianggap lebih cerdas atau memiliki penilaian yang lebih baik di aspek karakter lainnya.
Stereotyping hingga Rasisme dapat menyebabkan Halo Effect
Dari hasil penelitian Edward Thorndike dan contoh-contoh yangg saya sajikan sebelumnya, hal-hal tersebut sebenarnya masih berkaitan dengan stereotype, oleh karena itu Halo Effect juga disebut sebagai "Stereotip daya tarik fisik" dan prinsipnya adalah "Semua yang dianggap indah berarti baik". Seperti namanya, Halo yang berarti lingkaran cahaya. Ketika kamu melihat cahaya (suatu hal yang kamu anggap "Baik") pada sesorang, maka semua hal yang ada pada diri orang tersebut berada dalam lingkaran cahaya (semua hal tentang orang tersebut baik) begitupun sebaliknya, satu hal yang dianggap buruk maka semuanya mennjadi buruk.