Mohon tunggu...
Sofia Amalia
Sofia Amalia Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Guru PAUD

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memberikan Bantuan pada Anak Tanpa Hilangkan Kemandirian

28 Februari 2020   13:59 Diperbarui: 28 Februari 2020   14:17 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eko adalah siswa yang masih duduk di kelas III Sekolah Dasar. Ibu dan Bapak Eko sangat menyayangi Eko, apalagi, Eko adalah anak mereka satu-satunnya. Apapun akan mereka lakukan demi kebahagian Eko. Gaya hidup Eko juga terlihat berbeda dari anak seusianya. Eko memiliki segala permainan yang diinginkan oleh hampir seluruh anak usia delapan tahun di desa kecil tempat Eko tinggal.

Di sekolah, Eko selalu menjadi perhatian para guru, semata-mata karena tampilan Eko yang rapi dan keren, layaknya style anak "kota" di mata gurunya. Untuk prestasi di sekolah, Eko siswa yang cukup baik prestasinya "Kata Guru eko", dengan alasan Eko selalu menyelesaikan pekerjaan rumahnya dengan baik dan tepat.

Citra Eko semakin "Wow" dikala guru-guru mengetahui bahwa Eko adalah anak dari seorang Kepala Sekolah sebuah SMP Swasta di desanya.

Teach.com
Teach.com

Ketika lulus dari sekolah dasar, Eko melanjutkan pendidikannya di SMP Swasta yang dikepala sekolahi oleh bapaknya sendiri. Kebiasaan dan persepsi orang tentang Eko masih sama seperti sebelumnya.

Hingga tibalah suatu hari, yang mana akan mengubah itu semua, lulusnya Eko dari Sekolah Menengah Pertama dan pilihannya untuk merantau ke "Kota" demi melanjutkan pendidikannya di salah satu SMA ternama.

Di tempat rantauan, Eko tinggal bersama keluarganya. Ketika di sekolah, tidak ada satupun siswa yang mengenal Eko sebelumnya, apalagi Bapak eko. Kondisi ini tentunya sangat asing bagi Eko. Ketika hari terus berganti, Eko tetap saja tidak nyaman dengan kondisinya saat itu. Nyatanya, Eko tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya yang baru.

Tidak mampunya Eko beradaptasi di tempatnya yang baru, membuat eko hanya bertahan di bangku kelas X, dan memutuskan untuk pindah sekolah, sekalian pulang kampung. Di sekolahnya yang baru, Eko kembali bertemu dengan kawan lamanya yang tentu sudah saling kenal. Kembali tinggal bersama kedua orang tua, dan meyelesaikan sekolahnya.

Kejadian yang sama terjadi ketika Eko melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Dengan berat hati ia harus meninggalkan kedua orang tua beserta kampung halamnnya. Hal ini dikarenakan tidak ada satupun lembaga perguruan tinggi di sana. Jangankan perguruan tinggi, Sekolah Menengah Atas saja, jumlah jari tangan jauh lebih banyak.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, nasib kuliah Eko memiliiki cerita yang sama dengan kenangan pertamanya ketika di bangku SMA. Hanya bertahan dalam beberapa semester, Eko memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya. Alasanya hampir sama, kuliah dan hidup bersama orang lain terlalu berat baginya.

https://drbrucekehr.com/ 
https://drbrucekehr.com/ 

Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata, semenjak kanak-kanak, apa yang dilakukan Eko akan selalu dibantu oleh kedua orang tuanya. Ketika mengerjakan tugas sekolah misalnya, Bu Eko akan mengerjakan tugas Eko tanpa harus memastikan apakah Eko sudah benar-benar mengerti atau belum.

Kondisi yang lebih parah adalah, ketika tugas yang sebenarnya mampu dikerjakan sendiri oleh Eko akan dikerjakan juga oleh Bu Eko. Bukan hanya tugas sekolah, hampir semua hal yang dilakukan Eko akan selalu dibantu oleh kedua orang tuanya, tanpa menimbang kembali apakah hal tersebut membutuhkan bantuan atau mampu dilakukan sendiri. Kasus inilah yang melatar belakangi terjadinya  hal fatal yang dialami oleh Eko.

Dalam teorinya, Lev Vygotsky, psikolog kenamaan dunia, menjelaskan tentang Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development) atau yang lebih dikenal dengan ZPD. Istilah ini digunakan Vygotsky untuk rangkaian tugas (hal) yang terlalu sulit dikuasai anak seorang diri tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dan bimbingan orang dewasa atau anak-anak yang terlatih (Santrock, 2007).

Dalam ZPD sendiri ada dua batas, yakni batas atas dan batas bawah. Batas atas merupakan batas dimana tingkat bantuan tambahan dari orang yang lebih ahli yang diberikan kepada anak. Sedangkan batas bawah sendiri merupakan tingkat dimana anak mampu memecahkan masalahnya dengan mandiri tanpa memerlukan bantuan tambahan dari seorang ahli.

Dari teori yang dikemukakan oleh Vygotsky diatas, mari kita hubungkan dengan kasus permasalahan yang dihadapi oleh Eko. Kesalahanya terlihat pada cara pemberian bantuan yang dilakukan oleh kedua orang tua eko. Ibu eko selalu membantu Eko mengerjakan tugas, tanpa melihat bagian mana yang harus dibantu dan bagian mana yang harus dikerjakan oleh Eko secara mandiri.

Hal lain yang juga sangat disayangkan adalah, kejadian memberikan bantuan ala Bu Eko terus Bu Eko praktekan walau Eko sudah cukup besar. Seperti yang kita ketahui bersama, ketika seorang anak semakin bertambah usianya, maka perkembangannya semakin optimal. Sehingga, tingakat bantuan yang  diberikan kepada anak akan berbeda, karena anak sudah mampu melakukan banyak hal secara mandiri. Perubahan tingkat pemberian bantuan ini oleh Vygotsky dinamai dengan istilah Scaffolding. 

Dari cerita keluarga eko tadi, banyak hal yang dapat kita ambil, khususnya untuk pendidikan ataupun orang tua. Bedakan hal mana yang mampu dilakukan anak secara mandiri atau yang benar-benar tidak mampu dilakukan sendiri.

Jika ia benar-benar tidak mampu melakukannya sendiri, bantulah dia, namun tidak lupa untuk memastikan kembali setelah diberikan bantuan beberapa kali, apakah anak sudah mampu ataukah belum. Dengan ini, semoga tidak ada lagi "eko..eko.." yang lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun