Mohon tunggu...
Sofhian Fazrin
Sofhian Fazrin Mohon Tunggu... -

Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk Indonesia dengan cara Indonesia. Penjelajah dunia IT

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peristiwa Qurban dan Ciri-ciri Orang Munafik

24 September 2015   20:14 Diperbarui: 24 September 2015   22:04 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Qurban"][/caption]

Seorang laki-laki tidak akan menarik kembali kata-katanya, itulah jalan ninjaku.

Sebuah serial manga Jepang paling popular sepanjang sejarah karya Masashi Kishimoto mengisahkan seorang ninja muda yang hidup dalam bayangan kebencian dari orang-orang desa tempat ia tinggal, berusaha mengalihkan kebencian tersebut menjadi semangat berlatih untuk diakui sebagai ninja nomor satu di desanya. Semangat hidupnya menginspirasi banyak orang, mulai dari temannya, gurunya bahkan musuh-musuhnya. Kepiawaiannya dalam menginspirasi orang-orang melalui bicara membuatnya dianggap memiliki Talk no Jutsu oleh para fans manga tersebut. Salah satu kata-katanya yang terkenal sekaligus sebagai jalan ninjanya yaitu tidak akan pernah menarik kembali kata-kata yang pernah ia ucapkan.

***

Di dunia nyata, kita telah diajarkan oleh ‘oknum’ wakil rakyat dan ‘oknum’ penguasa baik di daerah maupun di pusat, bahwa kata-kata di atas hanya ada dalam dunia manga, menampar keras wajah kita bahwa itu hanya ada di dunia penuh imajinasi. Mereka mengajak kepada realitanya, ketika berbicara tetapi menyimpan dusta, menghamburkan janji pembangunan untuk kemudian diingkari demi suatu amanah jabatan dari rakyat yang akhirnya dikhianati. Kita dicontohkan oleh mereka sehingga sifat munafik itu menjamur di setiap tatanan kehidupan. Mudahnya membuat dan membatalkan janji, menganggap remeh perkataan yang pernah diucap, tidak selarasnya apa yang diucap dengan apa yang diperbuat, lain kemarin lain sekarang dan lain esok dalam bertindak. Atau malah kita sendiri yang mengajarkan mereka sehingga sifat tercela itu merupakan cerminan sifat rakyatnya. Hanya ada dua kemungkinan, sifat tersebut muncul dari atas untuk kemudian menyebar ke akar, atau dari akar lalu muncul kepermukaan. Ah mungkin kita dan juga mereka lupa akan pelajaran dari sebuah peristiwa ribuan tahun yang lalu yang hari ini sedang diperingati, Iedul Qurban!

Nabi Ibrahim AS tidak serta merta diberi mimpi pada hari Tarwiyah (perenungan) untuk menyembelih putranya yang beliau cintai, Nabi Ismail AS, kalau tidak karena suatu ucapan yang disebut nadzar. Ya, Abul-Anbiya’ pernah bernadzar apabila dikaruniai anak lelaki sudah tentu akan juga dikorbankan di jalan Allah. Hal demikian karena Nabi Ibrahim dikenal sangat sering bahkan terlalu banyak melakukan kurban hewan. Sebuah hari penagihan, hari mengingat, merenung dan berpikir tentang apa yang pernah diucap dan diperbuat di masa lalu.

Atas dasar perenungan itulah, beliau diberikan pengetahuan (Arofah) untuk memutuskan melaksanakan perintah yang juga merupakan tagihan akan nadzarnya di masa lalu, yang dikenal dengan nama yaumul nahr (hari penyembelihan). Dengan penuh keimanan dan penuh komitmen terhadap apa yang beliau ucapkan, sepedih rasa, seberharga pengorbanan dan sebesar apapun resiko yang ditimbulkan, janji tersebut dilaksanakan. Dengan akhir kisah yang telah sama-sama kita ketahui.

Rangkaian hari tersebut merupakan tiga hari yang menentukan, tiga hari yang dapat juga kita jadikan pelajaran dalam proses making decision. Bagaimana dalam membuat keputusan, tidak serta merta tergesa-gesa tanpa adanya proses. Suatu keputusan hendaknya diambil berdasarkan proses perenungan yang matang dan pengetahuan yang cukup. Tiga hari yang mengajarkan kita untuk berhati-hati apabila memiliki mulut dan lidah yang tidak bertulang.

***

Dalam dunia imajinasi saya berandai-andai, andai para wakil rakyat merenung dan mengingat-mengingat apa yang pernah mereka janjikan, andai para penguasa diberi pengetahuan untuk melaksanakan amanah rakyat, dan andai keputusan untuk melaksanakan janji dan amanah tersebut dapat mengangkat tinggi harkat dan martabat.

Di dunia nyata, saya sadari bahwa para wakil rakyat memiliki super memori, tentu ingat pada janji mereka, para penguasa tentu merupakan orang-orang pintar penuh macam gelar yang diberi pengetahuan, tapi mereka tidak memiliki Talk No Jutsu untuk menepati janji walau ‘sadar dan pintar’.

Perlu sebuah kesadaran untuk mengetahui apakah sifat munafik tersebut tumbuh dari penguasa lalu menyebar ke rakyat (kita), atau dari rakyat (kita) lalu bermuara di penguasa. Dan pengetahuan akan mencarikan kita solusi untuk mengatasinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun