Mohon tunggu...
Soffy Pratamalasari
Soffy Pratamalasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa hubungan internasional/Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik/Universitas Jember

saya ingin pergi jauh dan mendatangi tempat tempat yang bisa membuat saya tenang dengan mendengarkan beberapa genre musik yang saya sukai

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rivalitas Dagang Amerika Serikat-Tiongkok: Bagaimana Impact Perekonomian Indonesia?

6 Maret 2023   22:16 Diperbarui: 10 Maret 2023   07:15 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ekonomi politik dapat diartikan sebagai studi yang membahas mengenai bagaimana kepentingan ekonomi dan proses politik saling berkaitan dengan tujuan untuk membentuk suatu kebijakan pemerintahan (Thomas Oetley). Hal ini dapat diartikan bahwa ekonomi politik terfokus pada indikasi politik dimana terjadi persaingan dalam perdagangan ekonomi. 

Ekonomi politik muncul didasari pada keinginan negara dalam mengatur ekonomi dan politik sehingga berjalan secara bersamaan. Dimana dalam perdagangan ini terjadi interaksi pasar antara negara, perusahaan multinasional dan OI. 

Ekonomi politik merupakan upaya yang berhubungan dengan perdagangan yang dibuat oleh kalangan pemerintah yang bertujuan untuk mencari keuntungan dengan membentuk kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya. Karena pada dasarnya negara mempunyai tujuan untuk mengatur sebuah ketergantungan ekonomi dan otoritas politik. Kegiatan ekonomi politik yang dilakukan dalam sistem pasar bertujuan untuk menjalin kerjasama dengan negara lain dari berbagai aspek dan untuk mencapai kepentingan suatu negara tersebut.  

Salah satu fenomena yang timbul dalam ekonomi politik adalah perang dagang yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Tiongkok pada tahun 2018-2019. Perang dagang dapat diartikan sebagai sengketa ekonomi yang berakibat suatu negara akan mengalami keterhambatan peredaran perdagangan dengan cara menaikkan tarif bea cukai dengan tajam terhadap negara yang akan dituju. 

Kasus ini bisa dianggap sebagai salah satu wujud nyata atas tujuan negara dalam ekonomi untuk mencapai suatu kepentingan masing masing negara. Perang dagang ini dimulai ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengeluarkan kebijakan dengan pemberlakuan tarif tinggi untuk barang impor dari Tiongkok, dengan begitu memunculkan polemik baru dimana pemerintahan Tiongkok tidak terima, kemudian mengeluarkan kebijakan dengan berbagai bentuk reaksi. 

Perang dagang ini berarti kedua negara saling mengeluarkan kebijakan bea impor tinggi terhadap setiap barang yang masuk kedalam kedua negara tersebut. Tujuan dari kenaikan tarif ini berupa pengurangan dampak laju perekonomian Tiongkok dan Amerika Serikat. Kebijakan yang dilakukan kedua negara tersebut sebenarnya sudah dikecam dalam perjanjian FTA (Free Trade Agreement). Kemudian Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan  akan mengancam Tiongkok dalam sebuah wawancaranya berupa pembebanan denda atas dugaan pencurian HAKI yang dilakukan oleh Tiongkok. Dengan alasan tersebut, Amerika Serikat memberikan proteksi terhadap Tiongkok. Menanggapi langkah yang dilakukan oleh Donald Trump, Tiongkok membantah tuduhan terhadap negaranya. Kemudian mengencam tindakan tersebut dan tidak  mau hanya berdiam saja. Kemudian Tiongkok menginisiasi investigasi dan menerapkan tarif bea impor kepada Amerika Serikat. Kejadian tersebut menandai awal mula perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Puncaknya pada April 2018, kedua negara tersebut melakukan sengketa dagang dengan pemerintah Tiongkok memberikan penerapan tarif impor pada Amerika Serikat sebesar US$3 miliar, hal tersebut membuat Amerika Serikat memanas dan mengambil tindakan kembali. Kantor perdagangan Amerika Serikat memberikan tarif impor terhadap Tiongkok sebesar US$50 miliar. Namun pada 22 April 2018, pemerintah dagang Tiongkok menerima pesan dari Amerika Serikat bahwa akan dilakukan perdagangan bilateral yang akan dilakukan di Beijing. Pertemuan tersebut dilakukan pada 3-7 Mei 2018 sebagai wujud nyata kedua negara untuk membahas resolusi konflik yang tengah terjadi. 

Namun dalam pertemuan tersebut tidak ditemukan titik terang antara kedua negara, bahkan kedua negara tersebut menaikan biaya tarif impor yang menyebabkan babak baru  perang dagang kembali terjadi dan semakin memanas. Kemudian pada September 2018, Amerika Serikat mulai memberlakukan kenaikan bea impor sebesar 10% terhadap produk yang berasal dari Tiongkok senilai US$200 miliar, kenaikan tarif tersebut bertujuan untuk memperbaiki sistem ekonomi dalam negeri dan meminimalisir defisit neraca perdagangan antara kedua negara.

Rivalitas antara kedua negara adidaya ini dapat berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi global terutama pasar modal. Efek dari rivalitas yang tumbuh pastinya akan memunculkan ketidakseimbangan pasar terutama terhadap negara negara yang menjalin kerja sama dengan kedua negara tersebut, salah satunya Indonesia. Indonesia merupakan negara yang bergantung kepada kedua negara adidaya tersebut dalam aspek ekspor dan impor, sehingga dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami dampak dari persaingan dagang tersebut. Efek perang dagang signifikan berdampak pada fluktuasi nilai IHSG di Indonesia yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Perang dagang ini dapat disimpulkan sebagai tantangan sekaligus ancaman bagi Indonesia. Dimana Amerika Serikat pada 2018 memberikan potongan bea impor terhadap produk ekspor yang berasal dari negara yang mempunyai General System of Preferences (GSP) yang mana pada 2017 Indonesia mendapatkan manfaat GSP. Lantas Amerika Serikat memberikan potongan bea masuk di Amerika Serikat sebanyak 3704, dan 4% dari keseluruhan ekspor dari Indonesia mendapatkan fasilitas GSP. Dengan begitu, Indonesia tetap bisa menjaga pertumbuhan laju ekonomi sebanyak 5 persen dan tetap menjaga kestabilan inflasi negara. Dapat diartikan bahwa kebijakan proteksi yang berasal dari perang dagang kedua negara tentunya memberikan dampak yang baik secara signifikan dan dapat memajukan perekonomian Indonesia tanpa terpengaruh sejak kebijakan kenaikan tarif bea cukai di tetapkan.

Di sisi lain Indonesia sebagai negara berkembang dalam segi perekonomian internasional yang menganut sistem non blok yang berarti perdagangan yang bebas dan tidak memihak siapapun, dengan munculnya proteksi antara kedua negara yang tengah memanas, kemungkinan Indonesia mengalami kemerosotan dalam sektor ekspor atas efek kenaikan tarif bea yang melambung tinggi. Ditambah lagi keinginan masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya semakin meningkat, mau tidak mau harus tetap melakukan impor barang yang melebihi jumlah ekspor yang berakibat perekonomian Indonesia mengalami penurunan.

Pada tahun 2019, dimana persaingan dagang Amerika Serikat dan Tiongkok semakin memuncak memberikan efek terhambatnya perdagangan ekonomi dunia hingga ke seluruh dunia. Pada tahun yang sama, Indonesia pun mengalami penurunan perekonomian dibandingkan tahun tahun sebelumnya. Penurunan perekonomian Indonesia merupakan wujud nyata dari perang dagang kedua negara yang menyebabkan melemahnya proses ekspor ke negara negara tujuan ekspor Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun