Mohon tunggu...
Soetrisno Bachir
Soetrisno Bachir Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Pekalongan dari keluarga pedagang batik. Bapak yang NU dan Ibu yang Muhammadiyah. Menjadi manusia dan menjalani hidup adalah sebuah proses pencarian tujuan utama yang bernama Tuhan. Mudah-mudahan segala aktivitas yang saya jalani sekarang dan yang akan datang, selalu masih dalam kerangka proses pencarian itu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masihkah Kita Menjadi Bangsa yang Ramah?

5 Mei 2010   01:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:24 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_133449" align="aligncenter" width="499" caption="Warga mempersenjatai diri dengan senjata tajam saat terlibat bentrok dengan satpol PP dalam upaya pembongkaran kompleks makam Mbah Priok di Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (14/4) (KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO)"][/caption]

Sejak kapan bangsa ini menjadi bangsa pemarah? Sebuah pertanyaan yang tak mudah untuk dijawab, namun menemukan kemarahan di negeri ini tidaklah sesulit yang anda bayangkan. Tengok saja tayangan berita di stasiun-stasiun televisi, berita di Koran, siaran radio, maupun berita online yang ditayangkan setiap hari, mulai dari tawuran antar pelajar, perang antar fakultas di kampus, bentrok antar kampung, konflik antar masyarakat, sengketa Pilkada hingga demonstrasi yang kerap berakhir dengan kerusuhan.

Belum lama kita dipertontonkan sebuah tayangan yang miris sekaligus malu kita melihatnya, bentrok di Tanjung Priok berdarah yang mengorbankan nyawa. Kok masih ada ya di zaman sekarang sebuah kekerasan yang sedemikian biadab yang terjadi antar sesama rakyat Indonesia hanya dengan alasan mempertahankan hak masing-masing yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat. Apakah tidak ada cara yang lebih santun daripada saling melempar batu dan berujung kerusuhan yang mencoreng muka kita sebagai bangsa beradab. Tak lama kemudian ada kerusuhan di galangan kapal Drydock, Batam Kepulauan Riau, yang memaksa warga India mengungsi ke Singapura. Terlepas siapa pemicu kerusahan itu, apa tidak ada cara lain untuk menyelesaikan permasalahan.

Cap sebagai bangsa yang ramah rasanya perlahan dan pasti mulai terkikis dan berubah menjadi bangsa yang suka marah. Bangsa yang selalu bangga dengan budaya adiluhungnya, bangga sebagai bangsa muslim terbesar di dunia ini menjadi bangsa yang bersumbu pendek, mudah tersulut, terbakar dan meledak. Kekerasan demi kekerasan sudah biasa menghiasi kehidupan kita sehari-hari.

Sementara kebanyakan kita tidak merasa risau bahwa sifat pemarah dan dendam kesumat sudah menjelma menjadi bagian dari karakter bangsa. Sudah menjadi hal yang biasa dendam menyelubungi relung jiwa anak bangsa. Kasus demi kasus terpaparkan di hadapan kitaseolah tanpa henti untuk saling menghabisi baik karakter pribadi bahkan nyawa. Para yang bermasalah saling membongkar aib lawan yang dulunya kawan, satu per satu di muka publik. Saling menjelekkan adalah hal yang kini biasa dan lumrah. Keadaan untuk saling membuka aib ini belakangan mulai mewarnai kehidupan berbangsa kita. Masyarakat dibuat capek dengan berita-berita yang saling menjelekkan satu dengan yang lainnya. Yang dulunya bersalah, bisa tiba-tiba menjadi pribadi bak pahlawan, atau sebaliknya, yang dulunya pahlawan tiba-tiba menjadu pecundang. Mana yang benar sekarang ini menjadi sumir. Semua bisa dibolak-balikkan dengan mudahnya. Apakah ini yang menjadi karakter bangsa kita? Saling membuka aib dan tidak berani mengakui kesalahan. Kalau ini dibiarkan bagaimana nasib bangsa ini yang terus menerus mengorek kesalahan orang lain. Kapan menjadi bangsa yang produktif kalau sehari-hari disibukkan oleh urusan membuka aib.

Kesantunan pribadi dalam bermasyarakat maupun bermuamalah dengan sesama secara perlahan namun pasti telah bergeser menjadi hubungan yang kaku dan angkuh. Keramahan sebagai bangsa yang hangat rasanya kini telah sirna. Karakter yang selama ini kita agung-agungkan dan digembar-gemborkan bisa jadi kelak hanya sekedar menjadi cerita saja, bahwa dulu ada sebuah bangsa yang bernama Indonesia yang berbudaya yang tinggal nama. Alangkah malangnya kalau bangsa sebesar Indonesia ini karakter-karakter mulianya mulai luntur dan terkikis satu-satu oleh zaman.

Sementara para pembuat keputusan terhadap jalannya sebuah bangsa ini tidak terlalu risau dengan fenomena bergesernya nilai-nilai dan karakter bangsa ini. Angka dan data-data statistik selalu digunakan sebagai keberhasilan sebuah pembangunan, walau data tersebut belum tentu benar. Sebenarnya ada hal yang lebih penting dari sekedar angka. Yaitu karakter itu sendiri. Apakah pembangunan yang sekarang terjadi sudah juga memperhatikan pembangunan karakternya? Itulah pertanyaan yang harus kita jawab bersama. Kalau pembangunan berhasil, tentu tidak akan menghasilkan sebuah masyarakat yang menggebuki maling ayam sampai babak belur. Atau juga tidak menghasilkan sebuah masyarakat yang setiap ada pertandingan sepak bola, baik tingkat kampung maupun kejuaraan nasional yang selalu diwarnai dengan kericuhan baik antar pemainnya maupun penontonnya. Lalu buat apa juga melanggengkan sebuah perhelatan olahraga yang menguras anggaran dan merugikan masyarakat.

Bagaimana anak-anak generasi penerusa ini akan meneladani generasi sebelumnya kalau yang dipertontonkan adalah (mohon maaf) karakter-karakter negatif. Bagaimana anak-anak tidak akan menjadi generasi pemarah kalau setiap hari yang dilihat dan ditemui adalah kemarahan. Bagaimana mereka tidak akan bertindak tidak culas kalau para pendahulunya mengajari culas. Bagaimana anak-anak akan berlaku jujur kalau yang tua-tua mengajari tidak jujur. Bagaimana mereka menjadi pemaaf kalau yang senior mengajari iri dan dendam. Bagaimana mereka akan menempuh jalan menjadi pekerja ulet dan tahan banting kalau yang tua mengajari cara instan. Dan masih banyak pertanyaan bagaimana-bagaimana lagi yang kita sulit untuk menjawabnya.

Setiap hari masalah inilah yang generasi muda kita temui. Masalah yang seperti tak berujung, yang terus menerus akan menggelayuti bangsa ini. Ditambah lagi makin langkanya sosok-sosok pribadi yang menjadi teladan yang bisa dicontoh. Namun demikian kita tidak boleh berputus asa menghadapi keadaan seperti ini. Kita bisa mulai dari masyarakat terkecil yang ada di lingkungan kita sendiri, yaitu keluarga. Bagaimana kita mampu menularkan karakter positif terhadap keluarga kita sendiri. Kepala keluarga bisa menjadi role model yang menjadi teladan anggota keluarga yang lainnya. Masing-masing anggota keluarga juga bisa menjadi ‘pengawas’ anggota yang lainnya untuk mengingatkan apabila berbuat salah. Anggota keluarga juga harus berani menanyakan sumber pendapatan keluarga tersebut. Apakah diperoleh dengan cara yang halal atau haram. Kalau masing-masing keluarga menjadi ‘pengawas’ buat yang lainnya, insya Allah keluarga tersebut akan mempunyai karakter yang positif, sesuai yang diamanatkan tokoh pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantoro, yaitu ketika di depan memberi teladan, di tengah berinsipirasi menciptakan peluang dan ketika di belakang memberikan dorongan untuk kemajuan.

Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional ini penyadaran terhadap pembangunan karakter semoga menjadi perhatian kita semua, baik para pendidik, politisi, rohaniawan dan terutama para pembuat kebijakan, agar bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah, jujur, dan berbudi pekerti luhur tidak sekedar cerita masa lalu.

*) Pendiri Solusi Bangsa Center

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun