Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kesederhanaan Tak Mubazir, Kekayaan Sesungguhnya

10 November 2024   09:37 Diperbarui: 10 November 2024   09:40 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen  |  "Kesederhanaan Tak Mubazir, Kekayaan Sesungguhnya"

DikToko
(Soetiyastoko)

Remang fajar belum menyingkir  ketika mesin kendaraannya dimatikan di tempat parkir Stasiun Cisauk. Lalu keduanya bergegas  kedalam menuju peron, kereta sudah menunggu. Langsung naik gerbong KRL yang sudah padat dengan penumpang.

Kabin Kereta Rel Listrik di pagi hari selalu harum, para penumpangnya pun wangi-wangi.

Hmm, beda aroma ketika senja ... Yaa, kalian sudah tepat membayangkan bauran  keringat penumpang di perjalanan pulang.

***

Rahmad dan Rinda, pasangan muda yang tak rikuh hidup seperti kebanyakan para pekerja, meski masing-masing berasal dari keluarga kaya raya.

Selalu begitu,  setiap kali mereka mengunjungi kantornya di  tengah kota Jakarta.

Dari  stasiun Sudirman, mereka berdesak-desakan ikut mobil penjemput karyawannya.

***

Rumah mereka besar dan berhalaman luas, tetapi isi rumah serta gaya hidupnya tidak menampakkan kemewahan sama sekali. Tanpa perabotan mewah atau barang bermerek, mereka menjalani kehidupan dengan kesederhanaan yang terlihat tak membebani.  Hanya ada benda-benda fungsional, bukan pengerek status sosial.

Setiap hari, Rahmad dan Rinda, sebagai komisaris perusahasn menyibukan diri dengan bekerja, memonitor jalannya perusahaan.
Membaca laporan itu pasti, apalagi membaca buku dan mengikuti perkembangan sosial politik. Terutama yang berkemungkinan berdampak pada bisnis.
Mereka juga sering berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Termasuk membina Panti Jompo dan Panti Yatim-Piatu.

Namun, gaya hidup mereka yang sederhana tidak selalu diterima baik oleh lingkungan sekitar.  Bahkan dianggap memgusik tatanan strata sosial yang elitis. Glamour.

Di antara teman-teman dan keluarga, ada yang memandang rendah dan terang-terangan menggunjingkan kesederhanaan mereka. Sampai ada yang menyebut cari perhatian bin "caper".

Suatu hari di sebuah pertemuan komunitas papan atas, seorang kolega Rahmad, bernama Jimmy, tak segan melontarkan cibiran saat melihat Rahmad datang dengan mobil tua kesayangannya. "Mas Rahmad ini, ya... mobil tua seperti itu masih dipakai juga. Padahal kita semua tahu, Mas Rachmad mampu beli mobil yang lebih bagus. Lihat teman-teman yang lain, selalu pakai mobil tahun terbaru."

"Bang Rahmad , Bang Rahmad sadar kalee ... Membeli mobil baru itu berarti berpartisipasi  menggerakan roda ekonomi negara. Itu sumbangsih kalangan kita, lho ",  sahut yang lain.

Rahmad hanya tersenyum. "Mobil ini masih sangat nyaman, Jim. Rasanya tidak ada alasan untuk menggantinya, kan? Lebih baik uangnya digunakan untuk hal lain yang lebih bermakna."

Jimmy menggeleng, tak habis pikir. Di belakang Rahmad, Jimmy mengomel pada rekan-rekan lain, "Kalau aku sih enggak bakal mau tampil seadanya seperti itu kalau memang kaya. Aneh sekali, ya?"

Tapi meski mendengar gunjingan itu, Rahmad tetap bersikap biasa saja. Dia sadar, hidup mereka telah menjadi bahan perbincangan. Tapi baginya, apa yang mereka jalani justru memberi rasa bahagia yang tidak tergantikan.

Suatu malam, Rahmad dan Rinda menghadiri seminar di sebuah hotel berbintang. Mereka memilih tempat duduk di barisan tengah, berdampingan dengan beberapa peserta lain yang berpakaian lebih formal dan mewah.

Usai seminar, seorang peserta, Ibu Melda, mendekati mereka. Setelah perbincangan sosial yang  mengalir sopan, tiba pada kalimat tak terduga, "Saya dengar kalian berasal dari keluarga yang mapan. Tapi kenapa tidak tampil sesuai status?" katanya penasaran.

Rinda tersenyum, "Kami merasa lebih nyaman seperti ini, Bu. Menurut kami, yang terpenting bukan apa yang terlihat di luar, tapi apa yang kita niatkan di dalam hati. Maaf, Bu Melda ... Maaf, bagi kami hidup bukan tentang pertunjukan diri. Itu bukan ajaran agama yang kami yakini"

Jleb ! Ibu Melda tersentak mendengar jawaban Rinda, tapi kini jadi tampak kagum.

"Hebat sekali prinsip kalian. Saya kira, hanya sedikit orang kaya yang memiliki keberanian untuk hidup seperti kalian." , mata ibu Melda kembali menjelajah, mengamati tas  dan pakaian yang dikenakan Rinda.

Sementara itu, di sudut ruangan lain, seorang peserta pria yang mendengar percakapan tadi mencibir,

"Memang hidup sederhana bagus, tapi kalau sudah punya harta, kenapa mesti sembunyikan? Buat apa kaya kalau akhirnya tidak dinikmati?"

Komentar itu sampai juga di telinga Rahmad, namun dia hanya tersenyum dan memutuskan untuk tidak menanggapinya.

Setelah acara usai, mereka kembali ke rumah dan membicarakan apa yang mereka alami hari itu. Sejatinya kejadian yang seperti itu, bukan baru kali ini saja.

"Banyak yang masih tidak memahami, ya, Mas?" Rinda tersenyum kecil sambil menyiapkan teh untuk mereka.

Rahmad tertawa, "Iya, mungkin memang begitulah. Mereka punya pandangan bahwa kekayaan adalah sesuatu yang harus selalu ditunjukkan. Dijadikan atribut status sosial. Kita mungkin terlihat aneh di mata mereka."

Rinda memandangi Rahmad dengan lembut.

"Kita tidak perlu validasi dari mereka, Mas. Yang penting, kita menjalani hidup dengan bahagia, dan berusaha memberi manfaat bagi orang lain."

Rahmad mengangguk. "Dan aku senang, kita memiliki waktu untuk terus belajar dan memberi. Karena itulah kekayaan yang sesungguhnya bagi kita."

Di sela-sela kesibukan mereka mengawasi jalan bisnisnya, Rahmad dan Rinda rutin mengunjungi perpustakaan kota. Bagi mereka, membaca dan belajar adalah bagian penting dari perjalanan hidup.

Hari itu, saat mereka sedang membaca buku di salah satu sudut perpustakaan, ada tiga remaja.
Seorang diantaranya sering mereka temui, dia datang menghampiri.

"Kenalkan, ..
 Saya Sandymar -  Dymar. Kak Rahmad, Kak Rinda, bolehkah aku minta foto bersama ?", tanpa banyak omong, mereka menatap lensa kamera di gawai remaja itu. Selfi.

"Kakak, kenapa kakak sering datang ke sini? Kakak dari keluarga sangat kaya, tentu  di rumah punya perpustakaan pribadi?" ,  tanya remaja itu dengan nada ingin tahu.

Rahmad tersenyum bijaksana, "Kaya atau tidak, tidak ada kaitannya dengan datang ke Perpustakaan untuk belajar. Apalagi, di sini koleksinya lengkap. Selalu ada buku terbitan terbaru".

"Tapi , ... Kakak 'kan mampu untuk selalu beli buku baru ?!", celetuk remaja itu. Rinda dan Rahmad hanya tersenyum.

Remaja itu tak mengerti, bahwa ke Perpustakaan bagi pasangan itu tak sekedar tentang baca buku, tetapi juga rekreasi sekaligus "healing".  

"Kakak, menurut Kakak  seberapa penting Perpustakaan itu ?"

"Kalian tahu, Perpustakaan itu gudang ilmu pengetahuan,... Bagiku, pengetahuan itu tak ternilai harganya. Barang-barang mahal bisa hilang, tapi ilmu dan kebijaksanaan tidak pernah luntur."

Remaja itu tampak kagum. "Wah, aku tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya."

Rinda pun setengah berbisik menambahkan, "Dan kalau ilmu yang kita miliki bisa membantu orang lain, bukankah itu jauh lebih membahagiakan daripada pamer barang mewah?"

Remaja itu mengangguk dan tersenyum. Dari percakapan sederhana itu, ia belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada barang mahal, tetapi pada nilai yang kita tanamkan dalam hidup.

Ruang baca kembali hening. Rinda dan Rahmad duduk tenang, membaca buku baru dengan judul yang  sama "Menjadi Manusia Pembelajar" ,  tulisan Adnan Rahman.

Kapan Pembaca , yaa, Dikau yang bijak terakhir kali mengunjungi Perpustakaan ?

-------

Kesimpulan

Rahmad dan Rinda memberikan contoh bahwa kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh kemewahan atau validasi dari orang lain.

Mereka tetap hidup dengan rendah hati dan menggunakan kekayaan mereka untuk hal yang lebih bermakna, baik dalam bentuk ilmu, pengalaman, maupun bantuan kepada sesama.

Saran

Cerita ini mengajarkan kita untuk tidak mencari kebahagiaan dari pamer harta atau pengakuan sosial.

Lebih baik fokus pada hal-hal yang membawa manfaat dan membangun karakter, seperti menambah pengetahuan, pengalaman, dan kontribusi pada masyarakat.

Barang mewah bisa usang dan segera tertinggal jaman tapi kebijaksanaan dan kebaikan akan bertahan selamanya.

________

Pagedangan, Minggu  10/11/2024 08:08:17 Cuaca redup, bersahabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun