Ketika hak tersebut tidak ditunaikan, kita jatuh dalam ketidakadilan, bahkan kedzaliman. Maka, seorang yang benar-benar berilmu tidak hanya merasa bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk menunaikan hak orang lain yang telah Allah Swt titipkan kepadanya melalui ilmu itu.
Ilmu Mengantarkan Pada Kesadaran Ketidaktahuan
Ironisnya, semakin banyak hal yang kita pelajari, semakin kita menyadari bahwa ilmu yang kita kuasai amatlah terbatas.
Proses belajar seringkali membuka lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Seperti sebuah petualangan, setiap kali kita menemukan sebuah jawaban, kita justru terbawa pada pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih kompleks.
Misalnya, saat kita mempelajari warna merah, pertanyaan-pertanyaan yang muncul tidak hanya berhenti pada "Apa itu warna merah?" tetapi berkembang menjadi: Apa saja yang berwarna merah? Mengapa sesuatu itu berwarna merah? Apa unsur-unsur yang membentuk warna merah? Mengapa benda tersebut tidak berwarna yang lain? Pertanyaan ini terus meluas, dan pada akhirnya kita sampai pada kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa.
Kenyataan ini digambarkan dengan jelas dalam Al-Qur'an, dalam surah Al-Isra ayat 85, di mana Allah berfirman:
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (QS. Al-Isra: 85)
Ayat ini mengingatkan bahwa seberapa banyak pun ilmu yang kita miliki, tetaplah sangat sedikit dibandingkan ilmu Allah. Dengan memahami hal ini, kita menjadi semakin rendah hati dan sadar bahwa segala ilmu hanyalah titipan dari Sang Pencipta.
Kesimpulan
Pada akhirnya, belajar bukanlah sekadar upaya untuk mengumpulkan pengetahuan sebanyak-banyaknya, tetapi juga merupakan proses untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
Ilmu bukanlah alat untuk meninggikan diri, melainkan untuk semakin merundukkan hati.