Malam mulai jatuh, membawa kesejukan yang menggantikan panas siang. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menggantikan cahaya surya yang telah pergi. Di bawah sinar lampu yang temaram, aku bertanya pada diriku sendiri, siapa yang sebenarnya memelihara jiwaku?
Aku takut, mulai rapuh keimanan-ku. Selalu mendahulukan penumpang dibanding sholat.
Ragu pada Kekasih hati, dalam makna yang lebih luas, adalah akibat pilihan yang aku buat.
Mestinya yang kupilih merajut tali kasih-Nya sepanjang waktu, meski waktu itu terasa begitu lambat dan penuh cobaan.
Aku mengerti keindahan, kesucian, dan ketulusan bukan sekadar konsep. Mereka harus disemayamkan dalam kalbu, menjadi landasan bagi setiap langkahku.
Aku diingatkan pada kisah bijak tentang iblis yang terusir dari surga karena kesombongannya.
Manusia, meski belum pasti masuk surga, kadang bertindak seolah-olah memiliki kesombongan yang sama dengan syetan.
Hanya dada yang bersih, yang mampu memelihara jiwa dari permainan dan tipu daya dunia.
Aku duduk tersesat di atas jok motor kreditan, kawanku bilang, "Terlalu, wah, untuk diojekkan !" , kupandang langit yang semakin gelap. "Apakah aku tak layak, untuk sedikit bergaya ?" , tanyaku membathin.
Renungan lari kesana-kemari, mengajakku untuk membersihkan hati, untuk menemukan kembali kekuatan dan keteguhan dalam diri.
Di tengah gelisah dan ketidakpastian, ada ketenangan yang ingin kuraih melalui syukur, kejujuran, dan ketulusan. Karena pernah kubaca, "Hanya dengan hati yang bersih, manusia bisa menjalani hidup ini dengan damai dan penuh makna:"
Malam semakin larut. Aku memutuskan untuk pulang. Mesin motor menderu pelan, menyatu dengan suara malam yang mulai sunyi.