Humaniora | *Memaknai Kehidupan di Tengah Kegelisahan Demonstrasi*
DikToko
(Soetiyastoko)
Aku duduk di atas motor kreditan yang belum lunas, mesin yang sudah mulai lelah didera beban setiap hari kitari kota.
Dan tentu tak lagi setangguh dulu, ketika baru. Tapi masih tampak gagah, body bongsor - mesin 155 cc. Ibarat taksi, sepeda motorku : Limousin. Wah ! Ojek yang gaya.
Suara knalpotnya bila menggeram, hampir tenggelam oleh hiruk-pikuk kota.
Ada saatnya hidup dihadapkan pada realitas yang mengusik hati dan pikiranku.
Realitas ini begitu dekat, begitu menekan, hingga setiap detiknya terasa seperti ujian berat yang tak kunjung usai.
Seperti siang yang terlalu terik, matahari menggantung di langit tanpa awan, menyorot tajam ke setiap jengkal bumi. Saat dahaga tak menemukan air.
Di hadapanku, jalan raya memanjang, penuh dengan kendaraan yang bergegas, seolah-olah waktu tak pernah cukup untuk dilewati.
Namun, bagiku, waktu justru terasa melambat. Pendapatan harian yang dulu cukup untuk memenuhi kebutuhan kini mulai menyusut.
Ikan teri yang biasa menemani sepiring nasi telah beringsut, berganti dengan kerupuk. Dan hanya keberuntungan yang membuat beras tetap menjadi makanan yang tersaji, bukan singkong. Jangan bilang jagung untuk alternatif. Jagung lebih mahal.
Kutermenung, pandangi langit biru yang tanpa awan.
Angin bertiup lembut, tapi tak membawa kesejukan.
Hanya doa yang bisa terucap, memohon kekuatan agar aku tetap bisa bersyukur, meski rasa syukur itu semakin sulit kurasakan di tengah keterbatasan ini.