Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Humaniora | Memaknai Kehidupan di Tengah Kegelisahan Demonstrasi

30 Agustus 2024   10:32 Diperbarui: 30 Agustus 2024   10:32 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Humaniora  |  *Memaknai Kehidupan di Tengah Kegelisahan Demonstrasi*

DikToko
(Soetiyastoko)

Aku duduk di atas motor kreditan yang belum lunas, mesin yang sudah mulai lelah didera beban setiap hari kitari kota.
Dan tentu tak lagi setangguh dulu, ketika baru. Tapi masih tampak gagah, body bongsor - mesin 155 cc. Ibarat taksi, sepeda motorku : Limousin. Wah  ! Ojek yang gaya.
Suara knalpotnya bila menggeram, hampir tenggelam oleh hiruk-pikuk kota.

Ada saatnya hidup dihadapkan pada realitas yang mengusik hati dan pikiranku.

Realitas ini begitu dekat, begitu menekan, hingga setiap detiknya terasa seperti ujian berat yang tak kunjung usai.

Seperti siang yang terlalu terik, matahari menggantung di langit tanpa awan, menyorot tajam ke setiap jengkal bumi. Saat dahaga tak menemukan air.

Di hadapanku, jalan raya memanjang, penuh dengan kendaraan yang bergegas, seolah-olah waktu tak pernah cukup untuk dilewati.

Namun, bagiku, waktu justru terasa melambat. Pendapatan harian yang dulu cukup untuk memenuhi kebutuhan  kini mulai menyusut.

Ikan teri yang biasa menemani sepiring nasi telah beringsut, berganti dengan kerupuk. Dan hanya keberuntungan yang membuat beras tetap menjadi makanan yang tersaji, bukan singkong.

Kutermenung, pandangi langit biru yang tanpa awan.
Angin bertiup lembut, tapi tak membawa kesejukan.

Hanya doa yang bisa terucap, memohon kekuatan agar aku tetap bisa bersyukur, meski rasa syukur itu semakin sulit kurasakan di tengah keterbatasan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun