Sore mulai merangkak, perlahan menggantikan siang yang menyala-nyala. Langit berubah warna, dari biru terang menjadi jingga keemasan. Awan-awan mulai berkumpul, seolah-olah ingin menutupi jejak matahari yang hendak tenggelam di balik keangkuhan gedung-gedung tinggi.
Di sinilah, di bawah langit yang mulai gelap, aku kembali teronggok dipaksa keadaan untuk merenung.
"Akankah suara kami didengar ?" , lirih kubisikan lagi.
Ketika aku menatap keindahan alam ini, aku menangkap ketulusan kebersamaan dari orang-orang di sekitarku. Ojekers kota.
Aku lapar, tapi tak ada kiriman nasi bungkus, bagi Ojekers yang demo hari ini. Tak ada sponsor. Tak ada pihak lain yang dapat mengambil untung dari teriakan-teriakan kami di sini.
Aku memaknai kasih sayang yang sederhana namun tulus, nyaris tak ada, untuk demo kami.
Hanya cerca pelanggan yang kecewa, order-nya tak dipedulikan. Sedangkan aku menggenggam kerinduan akan kehidupan yang lebih baik.
Hidup ini, meski penuh dengan cobaan, masih penuh dengan keindahan. Bukankah ini sesuatu yang patut disyukuri? Tapi, di balik keindahan senja ini, hati-ku masih mendengar suara tangis dan ratap, suara-suara yang mengusik ketenangan hatiku.
Kehidupan adalah misteri yang tak mudah dijelaskan. Aku mencoba merangkumnya dalam sebuah kesadaran yang mendalam. Saat senja berganti menjadi malam, ketika langit jingga mulai menggelap, aku menerbangkan harapan dan doa lewat mega-mega.
Diriku berharap, agar kesungguhan hatiku dapat terlihat indah di mata semesta. Aku belajar dari alam yang terus berubah, dari siang yang terang benderang hingga malam yang pekat.
Alam mengajarkan untuk menemukan kepastian dan keteguhan di tengah ketidakpastian. Karena jika kecemasan dibiarkan, ia dapat menjelma bagai hantu yang terus membelenggu pikiran.