Pikiran tentang jalan pintas kerap muncul di benakku.
Menggoda diri.
Terkadang, aku berharap ada rezeki dari sumber lain yang datang tanpa diduga. Namun, suara hati selalu mengingatkanku akan batas-batas moral.
Kejujuran adalah sesuatu yang harus tetap kupegang teguh, meskipun korupsi sering kali terlihat sebagai jalan yang lebih mudah. Tapi, apa yang bisa kukorupsi ?
Meskipun aku tahu, kekuasaan untuk mengubah nasib tak sepenuhnya di tanganku. Sulit bagiku untuk bisa mengabaikan godaan itu.
Godaan untuk menyerah pada keadaan,
lantas lakukan sesuatu yang melawan hati nurani. Datang silih berganti. Astaqfirullah, ...
Siang terus bergulir, matahari mulai bergerak ke barat, dan aku menemukan diriku di tengah kerumunan para pengemudi ojek yang berunjuk rasa. Teman, sekaligus saingan-ku.
Kami di sini, di jalan terbuka, yang memaksa berkumpul,
menuntut potongan upah dikurangi. Teriakan tuntutan bergema di seantero jalan, bercampur dengan deru kendaraan dan klakson yang bersahut-sahutan minta jalan.
Panas terik matahari menyengat kulit, namun tak mampu meredam semangat mereka, kami dan aku. Memperjuangkan hidup yang sedikit lebih baik.
Aku melihat raut wajah-wajah penuh harap, raut wajah yang mencerminkan keinginan untuk hidup layak, untuk bertahan di tengah kerasnya kota ini.
Di antara kami, ada yang menggenggam erat setang motornya, seolah-olah itu adalah satu-satunya pegangan yang kami miliki.
Ada pula yang duduk di atas motor, lelah dan lesu, namun mata mereka tetap tajam, menatap masa depan yang entah skan seperti apa.
Aku melihat diriku sendiri di antara mereka. Aku adalah bagian dari mereka. Aku juga ingin perubahan. Aku juga ingin hidup lebih layak.
Tapi, di tengah semua ini, aku tak bisa menahan diri untuk bertanya, adakah perubahan yang bisa datang dari suara-suara ini? Atau justru semuanya akan semakin membenamkan kami dalam ketidakpastian?