Yacob mantan anak kapal laut, menyahut, "Ah, Ahmad. Kamu selalu punya sesuatu yang berisi untuk dibicarakan. Apa yang kamu pikirkan kali ini?"
Kursi kayu yang diduduki Yacob berdecit pelan saat ia menggesernya mendekat ke meja. Seperti suara kursi yang menceritakan kisahnya sendiri, demikian pula setiap kata dari Ahmad yang penuh dengan pengalaman hidup.
Mata Bidin pensiunan Geologi dan Somad wiraswasta bengkel elektronik, tertuju ke mata Ahmad, "Begini, Yacob. Kita semua tahu, Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya pada 2045, dan kita menyebutnya Indonesia Emas. Tapi, apakah kita benar-benar siap untuk itu?"
Sesaat, keheningan menyelimuti mereka. Angin malam yang dingin kembali menerpa, membuat Bidiin merapatkan jaketnya. Di luar warung, sorot lampu sebuah mobil yang melintas sebentar menerangi jalanan sepi, memberikan kontras yang tajam antara terang dan gelap.
Bidin pun menimpali , "Hmm, Indonesia Emas 2045... Itu masih 21 tahun lagi. Apa kita masih bisa melihatnya?"
Bidin memandang ke arah lampu minyak yang kembali meredup, kali ini lebih lama. Seperti refleksi dari pemikiran mereka yang mulai terarah ke masa depan yang belum pasti.
Somad tanpa nada pesimis berkata , "Ya, usia kita sudah tidak muda lagi, Ahmad. Tapi aku setuju, kita harus memikirkan generasi berikutnya. Menyiapkannya !"
Di kejauhan, suara burung hantu terdengar samar, bersahutan dengan ketukan tiang listrik oleh peronda malam, yang tengah berkeliling.
Suasana malam itu penuh dengan isyarat, seolah semesta ikut mendengarkan perbincangan mereka.
Ahmad makin bersemangat, "Justru itu, Somad. Meskipun kita mungkin tidak akan melihat tahun 2045, kita punya tanggung jawab untuk mempersiapkan masa depan anak-anak muda. Membantu mempersenjatai mereka dengan hal-hal positif.
Salah satunya adalah dengan menyemaikan kebiasaan positif dan meninggalkan yang negatif, seperti hoaks dan berita palsu yang merusak persatuan."