oleh: Dik Toko / Soetiyastoko
Negara-negara maju, melalui pemikir-pemikir politik luar negeri-nya, telah lama merekomendasikan pemberian beasiswa kepada anak-anak cerdas dari negara lain yang menjadi sasaran kepentingan politik luar negerinya.
Negara-negara ini sudah sejak lama memikirkan berbagai cara untuk mempertahankan kepentingan mereka di masa depan. Sesuatu yang harus dipersiapkan jauh-jauh hari.
Pemberian beasiswa untuk belajar di negara pemberi beasiswa adalah bagian integral dari pelaksanaan politik luar negeri secara halus.
Cara ini, jika dilihat dari segi biaya, amatlah ekonomis.
Mereka yang diberi beasiswa adalah bagian dari "cream" cerdas dan potensial generasi di suatu negara yang menjadi target sasaran kepentingan jangka menengah dan jangka panjang. Mereka ini dikalkulasi kelak akan menjadi bagian dari kelompok pemimpin di negara tersebut.
Sebagian yang lain diupayakan tidak pulang ke negara asalnya, tetapi dijadikan "anggota kelompok pemikir" alias "think-tank" di negeri pemberi beasiswa.
Pemikiran orang-orang hebat ini, diarahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, demi mempertahankan keunggulan komparatif terhadap negara pesaing.
Belajar di negara pemberi beasiswa, secara langsung atau tidak langsung, membangun kedekatan emosional dan politik seseorang. Ada akulturasi budaya dan cara berpikir maupun berperilaku, sebagaimana yang hidup dan berkembang di negara itu.
Tentu saja, ketika para penerima beasiswa ini tumbuh menjadi kelas menengah ke atas di negaranya, mereka akan merasa ada kecenderungan keberpihakan terhadap negara pemberi beasiswa.
Dalam percaturan politik internasional, para penerima beasiswa di kampus asing ini, tanpa mereka sadari, jadi lebih mudah direkrut menjadi bagian proxy di masa depan.