"Janganlah menganggap ada sesuatu selain Allah yang dapat kau harap, atau kau takutkan, yaa Bang, ..."
Posisi bantal ayah-ku sudah berubah. Beliau terlihat tidak nyaman, kucoba susun ulang yang menopang punggung dan kepala-nya.
Selimut kukembalikan keadaannya. Bagian kaki yang tersingkap, kututupkan. Telapak kaki pucat dan dingin itu, kini tak terlihat.
Diraihnya lagi tanganku, seolah minta kuperhatikan. Beliau mulai berkata-kata lagi.
"Ingat-lah Abang-anak-ku,
hanya Dia
yang
sungguh-sungguh berkuasa, ..."
Ayah menghirup udara pelan-pelan. Matanya menyelidik mata-ku.
Sejenak kemudian kucium dahinya, pipinya, ....
"Bang, minta-lah hanya pada Allah, jangan pada yang lain. Termasuk tidak berharap pada pemilik perusahaan yang kau pimpin......
Karena, semua harapan
yang ditujukan
kepada sesuatu
selain Allah
adalah
syirik,
baik yang nampak jelas
ataupun
yang samar-samar, ..."
Kalimat-kalimat ayah, selalu terdengar formal dan puitis.
"Abang, ingat-ingat-lah, berharap, kepada yang besar ataupun yang kecil selain Allah,
dalam pengertian syirik
hampir tiada berbeda. ... Pastikan anak-istrimu meyakini hal itu. Pastikan anak-anak dengan sukarela selalu mendoakanmu, ..."
Ayah tersenyum usai mengucapkan kalimat itu. Lalu ber-tahlil dan matanya pun terkatup selamanya.
Kepala dan tubuh ayah kuturunkan dari bantal dan guling penyangganya, tangannya dalam posisi sedakep. Mulai memucat, namun senyumnya tetap mengembang.