Humaniora | Warga Senior, Bebankah ?
Soetiyastoko
Tidak ada data yang pasti, seberapa banyak warga Bangsa Indonesia, yang dilahirkan di tahun kemerdekaan Indonesia, yang kini masih diberi kesempatan menyaksikan peringatannya.
Tentu mereka itu adalah para senior yang tidak merasakan hiruk pikuk perjuangan para patriot, melawan Belanda, Jepang atau pun tentara sekutu, yang mencoba kembali menguasai Nusantara.
Namun, mereka itulah generasi yang mendapatkan cerita lisan dari sebagian pelaku sejarah perjuangan.
Kita yang mendapat warisan estafet mengisi kemerdekaan, sebagaimana yang dicita-citakan para Pendiri Bangsa, hanya mengenal masa-masa itu dari buku sejarah dan film dokumenter saja.
Namun setelah 77 tahun merdeka, kok ada yang mengaku ikut bergerilya. Terlibat pertempuran, bahkan -katanya- turut merebut senjata dan amunisi dari tangan Belanda.
Aneh ?!
Tidak. Sama sekali tidak aneh. Mengaku-aku, sebagai pejuang, sebagai prajurit yang tidak dibayar ; adalah dorongan untuk mendapat pengakuan dan penghormatan. Mungkin juga untuk membuka peluang dicatat, sebagai yang berhak menerima uang kehormatan. Semacam uang pensiun. Termasuk jadi undangan kehormatan, disaat upacara peringatan proklamasi kemerdekaan.
Paragraf di atas terdengar seperti menuduh, bahkan menghakimi. Mem-vonis !
Dari sudut pandang yang lain, akan terlihat amat berbeda.