Jangan Tunggu Di Teras Rumah
Soetiyastoko
Kekasih,
maafkan aku
hanya sesaat-sesaat saja
ku
memeluk
mu.
Kekasih
bukankah sepakat sudah,
kita
kejar masa depan
maka
ketika berlari kencang
tak
mungkin
dengan berpegangan tangan
Apalagi
di
pandemi ini
sudah berbulan
kita tak seranjang,
biarkan
kutuntaskan perjuangan
yang
memang
bagian tugasku.
Bukan merayap
mengendap-endap
dan
luka berdarah-darah
tergores semak dan batu.
Tak sempat rasakan sakit ditembus peluru
atau,
lapar
tanpa tahu, kapan bisa makan
dan
akan makan apa,
seperti para pejuang kemerdekaan.
Bukan,
bukan seperti itu.
Kekasih,
alat pelindung diri-ku
memang bukan topi baja,
bebani kepala
tapi,
apd tebal kuraskan
keringatku
dan
musuh
tak bisa
kubidik
dengan jarum suntik.
Kekasih,
bila tiba-tiba
aku
mati,
dalam perjuangan ini
percayalah
tak ada yang pernah kuselingkuhi.
Kekasih,
bila jasadku di dalam peti
dan
kau
tak bisa
melihatku lagi
cukupkan tangismu
sampai
sedih
tak ada lagi.
Kekasih,
kutulis kata-kata ini
bukan karena berharap mati
atau
dikenang sebagai pahlawan.
Aku hanya ingin
tuntaskan
tugasku
saja.
Bukankah
setiap bidang tugas
ada resikonya sendiri.
Aku masih ingat ceritamu:
_".... seorang ibu sedang mencuci, tiba-tiba mati, ketika pesawat jet pribadi jatuh di kamar mandi ...."_
Kekasih
aku kangen pulang
kagumi senyum-mu
dan
pasangkan selimut
untuk
anak-anak kita.
***
Pagedangan, Jumat, 4 Agustus 2020
_Allah telah menetapkan, kapan selembar daun akan jatuh dan oleh sebab apa. Tak bisa diperdebatkan, bila memang sungguh ber-iman._
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H