Uraian hakikat hidup yang gaib itu membuat Bima tercengang, tak kuasa berkata-kata.
Dewa Ruci melanjutkan, “Siapakah yang lebih besar, wahai Panduputra, engkau atau alam semesta yang ada di dalam tubuhku? Aku adalah jagad besar atau makrokosmos dan engkau adalah jagad kecil atau mikrokosmos yang ada di dalam aku.”
Bima yang semula ragu, apakah dia akan bisa masuk ke dalam lubang telinga Dewa Ruci, menjadi mantap setelah mendengar uraian ringkas itu. Tanpa ragu ia melaksanakan perintah manusia mungil itu. Begitu memasuki telinga Dewa Ruci, Bima merasa seakan-akan berada di alam kosong, dst,,,,dst...
Kemudian, tanpa disadarinya, Dewa Ruci yang gaib dan agung itu lenyap dari mata batinnya. Bima tersadar. Tahulah Bima bahwa dia telah menemukan apa yang harus dicarinya, vaitu tirtha prawidhi, air suci atau air kehidupan, perlambang hakikat dirinya dan hakikat alam semesta.
*****
Bagi orang Jawa Bima adalah lambang kesejatian manusia / laki-laki. Di rumah-rumah Jawa “Joglo” tempo doeloe biasa dipasang gambar besar atau wayang Bimasena dibelit ular naga, yang sedang dicekik dan ditusuknya dengan kuku Pancanaka.
Bagi para penganut Kejawen lakon tersebut melambangkan kepercayaan "Manunggaling Kawula-Gusti". Atau, dalam bahasa Tassawuf /Sufi, disebut "Ma'rifatullah". Perlu diketahui bawa lakon "Bimasuci" ini digubah oleh "mbah Ahmad Mutamakkin", seorang ulama Sufi dari tanah perdikan "Kajen", Pati, Jawa Tengah.
*****
Wassalaam, seoga bermanfaat.
Refensi:https://wayang.wordpress.com/2010/07/20/pandawa-2-bima-werkudara-bimasena-bratasena-abilawa/
http://nukilan.com/2006/09/20/raden-bratasena-atau-bima-atau-wrekodara.htm