Mohon tunggu...
Suta Wreda
Suta Wreda Mohon Tunggu... -

(QS 103) - saling berpesan dalam kebenaran dan dalam kesabaran."

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

‘Jilboobs’ Itu Memangnya Apaan?

16 Agustus 2014   21:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:22 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon  ‘jilboobs’ adalah plesetan dari kata ‘jilbab’ + ‘boops’ yang artinya ‘payu dara’ atau  buah dada.  Dihubungkan dengan adanya fenomena ABG dan remaja wanita yang kepalanya mengenakan jilbab, namun baju yang dikenakan sangat ketat membentuk lekuk-liku tubuhnya, terutama bagian payudara yang seolah sengaja ditonjolkan. Belum lagi bagian tubuh lainnya seperti perut, pinggang, pinggul, pantat, semuanya serba ketat terbungkus atau sengaja sebagian dari organ tersebut dibuat tidak tertutup dan kelihatan kulit tubuhnya. Ref.: http://filsafat.kompasiana.com/2014/08/07/fenomena-jilboobs-dan-mempermainkan-jilbab-671971.html

Memang menyedihkan, memprihatinkan, dan menggeramkan fenomena tersebut, seperti dikatakan p enulisnya. Bahkan juga membuat risih melihatnya bagi kalangan non muslim sekalipun. Sampai di sini tulisan tersebut, opini mbak Ira Oemar, cukup adil. Mata saya pun ikut berbinar.

Tetapi ketika sampai kepada: “Bahkan tak jarang mereka yang rambutnya panjang, sengaja menyembulkan ujung rambutnya di balik kain jilbab yang cuma seiprit.” Maksudnya agar rambut di kepala harus tertutup rapat sampai ke daun telinga, leher, dada. Maka mata saya pun jadi terbelalak. Lho, kok?! Meski menurutnya pendapat itu didukung oleh ayat berikut:

“… Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung hingga ke dadanya” (Q.S. An-Nuur 24, ayat 31). Atau ayat yang lain : “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’ …” (Q.S. Al-Ahzab 33, ayat 59).

Nyata sekali bahwa mbak Ira adalah seorang yang berpandangan tekstualis dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran. Juga, hadis dijadikan pedoman langsung tanpa hati-hati dan pilih-pilih. Tanpa disertai dengan akal sehatnya sendiri melainkan ikut-ikutan apa saja kata pak Ustadz dan ulama yang terdahulu.

Bertolak Dari Tafsir

Aksara-aksara al Quran  akan mati tidak berarti bila tidak kita tafsirkan. Aksara-aksara itu boleh dianggap tetap sepanjang jaman tetapi pemahaman dan tafsirnya akan berubah dan berkembang sesuai jaman, tempat dan kulturnya. Hanya dengan demikian maka makna al Quran akan menjadi hidup, ‘fitrah’ wajar dan baik, mencerdaskan dan mengharmoniskan, dengan tantangan hidup yang nyata.

Saya juga berpendapat bahwa Tuhan tidak bermaksud mengekang manusia dengan dogma melainkan memberi kebebasan yang bertanggung jawab. Manusia diciptakana sebagai khalifah atau pemimpin untuk membawa rahmat bagi semesta.

Ayat  Q.S. An-Nuur 24: 31di atas inti perintahnya adalah ‘menutup dada’. Mungkin sekali wanita Arab dulu suka sembrono dalam hal menutup dada. Ada pun  ‘kerudung kepala’ itu memang sudah menjadi kebutuhan alami sejak nenek moyang mereka karena hidup di gurun sahara yang panas terik, pasir dan debu beterbangan bahkan juga badai gurun. Karena itu pula kaum laki-laki pun di sana mengenakan penutup rambut ketat, sorban atau kafiyeh. Dengan sendirinya mereka sangat cermat mengenakannya.

Bagi kita dan banyak etnis/bangsa lain rambut di kepala wanita bagaikan mahkota yang dipelihara, digelung, dirawat dan ditata; dan ini menimbulkan rasa hormat dari kaum laki-laki. Bukannya lalu mimbulkan nafsu syahwat/sex bagi para lelaki. Rambut bukanlah aurat, yang jorok, yang tidak pantas.

Para ulama kolot memang mengajarkan sebaliknya, bahwa rambut adalah aurat yang harus ditutup rapat-rapat. Dasarnya adalah prasangka buruk dan ini memuaskan bagi para suami pencemburu dan egois.

Challenge and Respone Menghadapi Tantangan Jaman

Tidak dapat kita bayangkan bila ibu-ibu kita yang sedang bekerja di sawah atau ladang harus memakai “jilbab syar’i”. Kenyataan lain wanita-wanita muslimah di pedesaan Jawa Barat harus tetap berjilbab syar’i meski harus menghadapi jalan penuh kubangan lumpur karena hujan. Mereka tidak berani meninggikan atau melipat kain, rok atau celana panjang yang bahkan sampai menutup mata kaki. Ini saya saksikan dari beberapa tayangan di TV. Tentu saja mereka akan mendapati pakaian bawah mereka pekat berlumpur. Mungkin hal itu karena takut dipelototi dan dikata-katai oleh warga sekitar yang “sok syari’ah”.

Juga bayangkan seandainya ada sebagian Polwan dan korps wanita TNI lainnya mengenakan “seragam syar’i”. Mereka lalu menjadi eksklusifis dan akan menuntut pelbagai dispensasi dari tugas-tugas lapangan.

Wanita modern memiliki hak aspirasi dan tidak ingin sekedar menunggu pinangan lalu menjadi ibu rumah tangga yang sakinah. Banyak di antara mereka dituntut menjadi pahlawan keluarga dengan bekerja di pelbagai bidang profesi. Banyak pula di antara mereka yang berprestasi menonjol dan itu akan menymbang kemajuan bangsa.

Merongrong Kepribadian Bangsa.

mBak Ira mungkin belum pernah menyaksikan para abdi dalem kraton Solo dan Yogya yang sedang menghadap raja. Mereka berbusana kain batik panjang di bagian bawah, ‘stagen’ atau sabuk tradisional, dan ‘kemben’ yang melilit rapat dan rapi di bagian dada sampai ketiak. Bagian pundak mau pun lengan terbuka polos. Mereka berperilaku khidmat, harmonis selaras dengan busananya. Tidak ada yang bertingkah aneh-aneh.

Busana ‘kemben’ itu dulu banyak dipakai ibu-ibu di lingkungan rumah halaman pemukinan, dalam kegiatan rumah tangga dan kontak dengan tetangga kiri-kanan. Dengan kain batik atau lurik mereka sampai ke bawah betis. Ini baik di desa maupun di kota. Kehidupan mereka cukup aman, rukun dan tenteram. Tidak pernah terjadi tindak kurang ajar atau skandal sex hanya gara-gara ‘kemben’ itu.



Busana nasional kain dan kebaya adalah warisan budaya yang dikembangkan berkesinambungan turun-temurun dengan penuh kearifan dan cita-rasa tinggi. Para wanita kita tetap bangga mengenakannya teristimewa pada acara-acara sosial yang penting seperti pelantikan, pernikahan, dsb.



Contohnya seperti keluarga alm. Gus Dur, ibu Fatmawati, ibu Rahmi Hatta, dan banyak lagi. Mereka umumnya adalah sosok tauladan, anggun dan elegan. Mereka memang mengenakan kerudung sekedarnya sebatas sebagai identitas saja.



Ataukah  lalu ”rambut mereka seperti punuk unta yang miring” ??  Mereka bakalan masuk neraka karena tidak syar’i atau mempermainkan syari’ah?

Yang lebih fenomenal dari ‘jilboob’ adalah meningkatnya dan intensnya rongrongan jilbab dan hijab “sok syar’i” terhadap busana nasional kita di ruang-ruang publik. Kepribadian bangsa kita sedang dirongrong oleh ajaran-ajaran salafi, wahabi, transnasionalisme dan ISIS. Kita wajib menjaga, melestarikan dan membanggakan warisan budaya kita yang adi-luhung.

Semoga bermanfaat. Wassalam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun