Genap satu tahun Jokowi memimpin Indonesia pada 20 Oktober 2015 ini. Saat awal terpilihnya beliau menjadi presiden, banyak harapan ditumpukan ke pundak mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Berharap full tentu saja. Demikian pula banyak yang menyangsikan perubahan mulus bakal terjadi mengingat tim kerja yang copat-copot.
Boleh jadi setahun belum bisa menjadi ukuran sebuah keberhasilan, karena ketika Jokowi memasuki gerbang kepemimpinan setahun lalu ibarat memasuki kain sulaman yang benangnya seribu warna dan runyam mbulet semua.
Mulai urusan politik, ekonomi, keamanan, sosial dan budaya sedikit banyak bermasalah. Dan masalah tidak datang tiba-tiba setahun lalu tetapi Jokowi mewarisi masalah-masalah sebelumnya. Belum lagi masalah otonomi daerah yang semakin hari semakin membuat pusing investor, terutama masalah praktek-praktek perijinan yang ‘mungkin’ tambah marak disana-sini.
Konsep membangun dari pinggiran menurut saya cukup positif asal tidak hanya membangun fisiknya tetapi yang penting membangun manusianya, valuenya, nilai-nilai berkebangsaannya. Musti diinventarisasi juga, pinggirannya darimana, apakah perbatasan seperti Sebatik di Kalimantan Utara, Timor, Entikong, Jayapura, Merauke, Batam, Riau, Aceh. Pasti ini sudah dipikirkan dan digarap. Malah pada awal pemerintahan beliau, saya baca di media beliau berkunjung ke lokasi-lokasi pinggiran tersebut.
Kebijakan proses perijinan investasi di Indonesia yang hanya selesai tiga jam itu juga cukup positif, meskipun baru taraf ujicoba diharapkan akan mempercepat implementasi investasi di daerah-daerah. Semoga saja kemudahan perijinan diberlakukan untuk semua calon investor tidak saja investor asing dalam Penanaman Modal Asing (PMA) tetapi juga investor nasional dalam Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Mengapa demikian, karena investor dalam negeri juga butuh kepastian usaha, kepastian perijinan dan kepastian bisa memberikan peluang kerja kepada masyarakat di lokasi-lokasi investasi. Kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit. Toh, investasi untuk barang yang sama apakah itu dikerjakan investor asing atau investor dalam negeri, sama-sama membuka lapangan kerja dan menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Bagaimanapun perubahan kebijakan di level negara ini harus di'bumi'kan di tingkat Kabupaten atau Kecamatan sekalian, supaya aparatnya nyambung, tidak saling lempar tanggungjawab.
Sebagai Presiden satu-satunya di dunia yang berlatar pendidikan kehutanan, harapan saya waktu itu Jokowi bisa mengembalikan fungsi hutan Indonesia yang kaya keanekaragamanhayati. Kalau toh pun sulit karena sudah terlanjur rusak dimana-mana atas nama pembangunan ekonomi, setidak-tidaknya ada penataan kembali dari pinggirannya atau dalam bentuk lain.
Ketika Jakarta mulai ditata taman-taman kotanya, pohon-pohonnya dan dibuat lebih manusiawi oleh Jokowi saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, sungguh saya berharap ini menjadi gerakan yang akan diduplikasikan di seluruh kota-kota di Indonesia.
Kalau perlu bisa ‘menghutankan’ sebuah kota sampai benar-benar kebutuhan oksigen untuk bernafas manusia yang hidup di kota tersebut tercukupi. Demikian juga emisi industri atau transportasi dalam sebuah kota akan terserap hutannya sendiri. Oksigen yang diproduksi oleh daun-daun tanaman juga oleh plankton-plankton di lautan selama ini seolah-olah dianggap gratis karena tidak pernah dihitung nilai rupiahnya. Kecuali oksigen yang digunakan di rumah-rumah sakit, itu ada harganya, dibandrol. Kita memang harus mengupayakan oksigen berlimpah di negeri ini supaya rakyat sehat.
Di Bogor misalnya ada ‘botanical garden’ meskipun ini warisan bangsa lain, tetapi hal-hal semacam ini bisa ditiru kalau mau. Kota-kota lain kabarnya sudah mulai mencontoh Surabaya yang bersih, hijau, dan manusiawi untuk warganya.
Kegiatan membangun dan membangunkan penghijauan kota, menanam tanaman langsung ditanah, kalau perlu tidak usah membangun pot-pot bunga berbahan beton cor ditengah jalan yang berderet seperti yang ada di sepanjang jalan Depok. Selain mahal, biayanya mungkin bisa diirit untuk membeli pohon dari petani-petani pohon yang ada. Pemilihan jenis pohon juga perlu menjadi perhatian. Bahasa arsitektur tatakota dengan bahasa kehutanan dalam pemilihan jenis-jenis pohon mungkin saja berbeda. Apa yang dinilai arsitek kota termasuk pohon indah, keren, dan berseni belum tentu dari sisi ekologi sesuai di tempat tersebut. Hal-hal sepele remeh temeh begini penting untuk menghasilkan tanaman atau pohon yang kuat dan tahan lama di dalam kota. Di pojok kota Bogor sepanjang jalan Ahmad Yani misalnya masih banyak pohon-pohon rindang yang kokoh sepanjang jalan.
Bukan hanya sekedar forest in the city (hutan di dalam kota) tetapi lebih luas saya berharap kota-kota di negeri ini menjadi the city in the forest (kotanya ada di dalam hutan). Tidak perlu ke hutan kalau mau lihat hutan, di kota juga ada hutan kok, siapa dulu Presidennya. Begitu barangkali bangganya warga ketika kelak ini bisa diwujudkan pemerintahan presiden lulusan fakultas kehutanan itu.
Sebut saja kota-kota seperti Atlanta di USA, Kiev di Ukraina yang berkonsep the city in the forest, Jerman bagian selatan, Delhi juga mulai bergerak ke green city di antara kota-kota besar India lainnya dan kota-kota lain di dunia yang terus berbenah meninggalkan dunia industri. Bahkan saya mendengar dari beberapa teman di Seoul Korea Selatan, harga tanah di luar kota yang dekat dengan hutan cenderung lebih mahal daripada tanah-tanah di dalam kota. Entah iya entah iya.
Gaya hidup green city mulai harus dijalarkan dimana-mana oleh pemerintah, dan para pemangku kepentingan lainnya. Orang harus mulai dibuat bangga back to nature, bergengsi berwisata ke Raja Ampat, Derawan, Bukittinggi, Tomini, Tanjung Lesung, Tanjung Papuma, menyusur desa-desa sekitar Pakem, Kaliurang, Imogiri dan menikmati makan-makanan tradisional, ndeso dan alami tanpa bahan pengawet yang terbukti menyehatkan dan anti kanker. Dan trend seperti ini sudah mulai tampak.
Tidak sulit-sulit amat (sepertinya) tim pemerintahan Jokowi wujudkan ini. Sebelum terlanjur Kabupaten membuat perda-perda yang aneh-aneh karena mengatasnamakan ekonomi dan otonomi, sebenarnya bisa dibuat aturan mandatory tingkat Kabupaten tentang luas minimal tutupan pohon pada sebuah wilayah (under tree cover).
Apalagi untuk Kecamatan dan Kabupaten pemekaran yang bangunan gedungnya besar megah perlu diimbangi dengan aturan areal tutupan pohon atau hutan kalau bisa minimal 30 persen misalnya. Jangan sampai bangunan megah tersebut justru menjauhkan rakyat dari pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah pada warganya. Jangan sampai warga harus lepas sendal atau menunduk-nunduk bila masuk ke kantor Kecamatan yang megah, karena saking bangganya orang-orang itu menjadi pejabat teras daerah. Sudah tidak jaman lagi di era sekarang, sudah kuno.
Kemudian, stop konversi lahan sawah atau lahan hutan ke bangunan-bangunan atas nama apapun. Bila saja sawah-sawah, ladang, pohon-pohon itu bisa bicara, mereka sebenarnya sudah berteriak, takut pada aturan manusia, takut ditebang, takut dibakar, takut dimatikan.
Lalu segera saja implementasikan aturan penggunaan biodiesel 20% untuk industri yang pernah dijanjikan. Ini akan menggairahkan dunia persawitan Indonesia, karena minyak crude palm oil (CPO) bisa juga diserap untuk kebutuhan energi terbarukan dan tidak semata-mata untuk bahan baku minyak goreng yang jumlahnya juga tentu terbatas dibandingkan kebutuhan energi.
Banyak cara berpihak pada rakyat melalui praktek-praktek praktis seperti ini. Jokowi pastilah sangat berpihak pada rakyat kecil tetapi mungkin aturan hukum, aturan administrasi negara, dan mekanisme pemerintahan yang ada kurang mendukung. Kenapa tidak ubah aturan ini itu, mungkin itu anggapan sementara pihak. Tentunya tidak segampang itu buat pemerintah. Tidak segampang kerja para komentator, misalnya komentator sepakbola yang handal bicara itu belum tentu handal bila diminta turun main dalam tim.
Apapun yang sudah dicapai pemerintahan selama satu tahun ini, kita tentu berharap Indonesia kedepan akan semakin baik lagi. Termasuk untuk mewujudkan forest in the city, the city in the forest, kenapa tidak dimulai dari lingkungan sendiri. Kalau tidak ada lahannya ya pasti ada cara lain.
Di sela nulis, teman saya yang penakut ulat bulu nyeletuk, 'walah kalau bener terwujud Forest In The City dan The City In The Forest nantinya, selain akan lebih banyak lagi wisatawan datang ke Indonesia, hidup akan lebih segar ya, hijau di mana-mana, mungkin di kota bakalan banyak binatang buas berkeliaran juga, belum lagi susah tidur karena banyak nyamuk'.
Sambil nyengir saya jawab: “Sekarang saja banyak yang buas-buas di jalanan, kalau soal banyak nyamuk itu urusan kecil, pakai kelambu, rapopo.” Selamat bertugas pak Presiden. (SOE/2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H