Mohon tunggu...
Surya Rianto
Surya Rianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger, Jurnalis Ekonomi, Pecinta Badminton, dan Anime

Blogger, Jurnalis Ekonomi, Pecinta Badminton, Penggemar Anime dan Dorama Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Para Bocah Penjaja Tisu di Jalanan, Eksploitasi atau Sebuah Hal Biasa?

14 Desember 2019   17:50 Diperbarui: 14 Desember 2019   18:07 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi/ Canva Premium

Tiba-tiba seorang anak laki-laki berumur 7-8 tahun menjajakan tisu bermerek Tessa kepadaku pada pukul 20:30 WIB di perempatan Stasiun Karet, Jakarta Pusat. Wajahnya memelas, menawarkan tisunya dengan dalih belum makan. 

Selain dia, ada juga anak perempuan lebih tua darinya yang sedang duduk sambil makan di trotoar. Dengan wajah sinis, anak perempuan itu memandangku yang tengah ditawarkan tisu tersebut. 

Jujur, aku sangat penasaran skema penjualan tisu yang dilakukan anak jalanan tersebut. Soalnya, skema ini seolah tersistematis sehingga terjadi di banyak tempat, terutama Jabodetabek. 

Belum lagi, ketika ke Singapura, ada juga penjaja tisu jalanan mirip seperti di Indonesia. Namun, penjajanya adalah lansia, bukan anak-anak seperti di Indonesia. Kisah lengkapnya bisa dibaca di Suryarianto.id

Aku pun menduga-duga apakah ini sistem yang dibuat si produsen tisu untuk bisa mendongkrak penjualannya, atau ada oknum yang memanfaatkan anak-anak untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan tisu tersebut. 

Iseng, aku pun ngobrol dengan anak laki-laki penjaja tisu tersebut. Dia mengaku dapat pasokan tisu seplastik besar itu dari ibunya. 

"Ibu saya sedang duduk di bawah flyover itu," ujarnya sambil menunjuk ke wanita paruh baya yang sedang duduk dan mengobrol di bawah fly over. 

Harga tisu yang dijajakan senilai Rp5.000, dia bercerita dari aktivitas jualannya itu, dia diberikan uang saku oleh ibunya sekitar Rp5.000 sampai Rp7.000 per hari. 

"Cuma dikasih Rp5.000 sampai Rp7.000 buat seharian om," ujarnya. 

Dia pun menceritakan kalau dirinya memiliki 2 kakak dan 3 adik, dua diantaranya tengah bersamanya di perempatan Stasiun Karet tersebut. Kakaknya adalah sosok anak perempuan yang sinis tadi, sedangkan adiknya juga perempuan yang selisi 2 tahunan dari anak laki-laki tersebut. 

Ketika ditanya masalah sekolah, anak laki-laki itu agak gelagapan menjawab sekolah atau tidak, tetapi kepalanya refleksnya mengatakan tidak. 

Namun, adiknya berteriak dari belakang kalau kakaknya itu sekolah di Jambi. "Sekolahnya di Jambi sana om, jauh," ujarnya. 

Saya mempertegas, "Wah sekolahnya jauh ya di Jambi, di pulau Sumatra?" anak laki-laki itu tidak menjawab, tetapi sang adik mengiyakan dia sekolah di provinsi daerah Sumatra tersebut. 

Saat ngobrol masalah sekolahan, muncul anak laki-laki lainnya yang lebih tua dari anak laki-laki penjaja tisu tersebut. 

"Jangan diladenin, dia mah orang gila," ujar anak lelaki itu dengan ketus. 

Aku pun bertanya, apakah dia saudara atau teman dari anak-anak penjual tisu tersebut. Anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya. 

"Saya mah orang di gang situ, cuma memang sering melihat mereka aja di sini," ujarnya.

Sebelum menyebrang, aku masih sangat penasaran dari mana pasokan tisu itu datang. "Mamanya dapat tisu-tisu ini dari mana?" dengan lantang dia menjawab kalau semua tisu itu didapatkan dari Pal Merah, Jakarta Barat. Hal itu wajar saja, karena kantor Tessa memang ada di kawasan tersebut. 

Namun, yang menjadi permasalahan adalah eksploitasi anak lewat penjualan tisu itu seolah halal karena tidak ada pihak yang mempermasalahkannya, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Yayasan Lentera Anak yang sempat heboh membahas eksploitasi anak di audisi PB Djarum. Apakah mereka menilai hal itu biasa saja kali ya? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun