Kira-kira jam empat sore. Saya baru pulang dari kampus. Saya waktu itu mampir di rumah teman saya. Sudah masuk dua bulan ini teman saya tidak pernah main ke kampus dan masuk kuliah di dalam kelas. Kebetulan saya dengan teman saya satu Dosen Pembimbing Akademik (DPA). Jadi tadi saat menemui dosen PA saya. Dosen saya banyak bercerita tentangnya. Yaa... Tentang teman saya itu, yang kuliahnya tidak beres, kata dosen PA saya begitu.
Saat sampai di rumahnya saya dapat teman saya ini sedang baring-baring di tempat tidur sambil membaca buku. Saya heran dengan teman saya ini. Dia malas sekali pergi ke kampus, masuk kuliah di dalam kelas. Tetapi kalau baca buku, rajinnya... Minta ampun. Entahlah... Saya kemudian bercerita dengan teman saya. Tentang keadaan di kampus dan teman-teman seangkatan kita, yang sekarang sudah pada sibuk susun proposal skripsi.
Ketika saya menceritakan semua itu pada teman saya. Teman saya ini malah tertawa terbahak-bahak. Saya heran jadi heran sama dia. Teman saya sambil tertawa puas-puas dia lalu membuat segelas kopi. Saya di suruh minum kopi dulu baru lanjut bercerita lagi. Katanya, biar cerita saya tidak ngaur-ngaur seperti yang tadi saya ceritakan. Saya jadi tambah heran dengan teman saya ini.
Sambil minum kopi dan merokok teman saya kemudian baru mau bercerita dengan saya. Tadinya saya yang bercerita panjang-lebar tentang kuliah dengan teman saya. Demikian cerita teman saya:
Kawan, kau lihat ini apa? Teman saya ini menunjukan kepada saya ijazah SD, SMP dan SMA-nya kepada saya. Kemudian dia menyalakan kore api, dan membakarnya. Teman saya ini membakar ijazah SD, SMP, dan SMA-nya di depan saya. Saya terkejut hebat! Benar-benar gila teman saya ini. Saya ingin menghalangnya membakar ijazahnya itu. Tetapi tetap saja saya tidak bisa. Ijazahnya itu sudah terlanjur terbakar setengah. Dan kini menjadi debu-debu yang tiada arti sama sekali terletak di lantai kamar teman saya itu.
Tentu semua itu ada alasan mengapa teman saya ini membakar semua ijazahnya. Ini saya kira sebuah kritik pedas kepada kita yang terus-menerus menaruh harapan besar kepada ijazah. Selama ini kita berpendidikan di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus hanya untuk mendapatkan ijazah. Dengan alasan yang gila bahwa dengan ijazah akan mempermudah kita untuk mendapatkan apa yang kita cita-citakan. Memang ia, kenyataan hari ini seperti itu. Tetapi apakah dengan begitu kita akan menjadi manusia bebas dan merdeka?
Teman saya ini kemudian bercerita mengapa ia membakar ijazah-ijazahnya. Padahal ijazah sangat di butuhkan banyak orang. Sampai-sampai ada orang tua yang menjual tanah, kebun, rumah, dan barang-barang berharga mereka, hanya untuk anak-anak mereka sekolah. Tetapi setelah selesai sekolah apa yang terjadi, mereka malah lebih menyusahkan dan menambah beban orang tua. Ijazah atau sekolah yang katanya menjawab harapan-harapan yang megah kini hanyalah kepalsuan semata.
Tegas teman saya, saya membakar ijazah saya karena saya tahu diri, bahwa saya adalah manusia. Manusia adalah makhluk yang dilahirkan membawa kreatifitas. Jadi saya untuk apa menghamba pada sekolah. Kalau saya tahu bahwa saya seorang manusia? Kalau saya tidak pandai-pandai mendidik kreatifitas saya hari ini. Maka saya akan tidak jauh berbeda dengan binatang liar. Bahkan mungkin binatang-binatang liar itu lebih mulia dari saya. membakar ijazah untuk menjadi manusia kreatif! Selamat tinggal sekolah...
Rabu, 04 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H