Mohon tunggu...
Sultoni
Sultoni Mohon Tunggu... Freelancer - Pengamat Politik dan Kebijakan Publik AMATIRAN yang Suka Bola dan Traveling

Penulis lepas yang memiliki ketertarikan pada isu-isu sosial politik, kebijakan publik, bola dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pelajaran Berharga dari Richard Eliezer: Perintah yang Salah dari Atasan Harus Ditolak

25 Januari 2023   10:28 Diperbarui: 25 Januari 2023   10:54 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Richard Eleizer menangis dipelukan pengacaranya usai dituntut 12 tahun penjara oleh JPU dalam sidang tuntutan di PN Jakarta Selatan. Foto : Kompas.com

Persidangan kasus pembunuhan yang menyita perhatian luas publik seantero tanah air yakni kasus dugaan pembunuhan berencana yang dilakukan oleh mantan Kadiv Propam Polri, Ferdi Sambo terhadap ajudannya sendiri almarhum Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang terjadi pada 8 Juli 2022 yang lalu di rumah dinas Komplek Polri Duren Tiga Nomor 46, Jakarta Selatan, memasuki tahap sidang tuntutan kepada para terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sidang tuntutan terhadap para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sendiri digelar mulai Senin, 16 Januari 2023 hingga Rabu, 18 Januari 2023.

Ferdi Sambo selaku aktor intelektual utama dalam kasus pembunuhan berencana atas Brigadir J tersebut dituntut oleh JPU dengan tuntutan hukuman penjara seumur hidup.

Sedangkan empat tersangka lainnya yakni Kuat Ma'ruf, Ricky Rizal dan Putri Candrawathi masing-masing dituntut oleh JPU dengan tuntutan delapan tahun penjara, sementara Richard Eliezer atau Bharada E dituntut oleh JPU dengan tuntutan 12 tahun penjara.

Dari kelima terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap almarhum Brigadir Josua, tuntutan yang diajukan oleh JPU kepada Richard Eleizer merupakan tuntutan yang paling tinggi setelah tuntutan yang diajukan untuk tersangka otak dari dugaan pembunuhan berencana kepada Brigadir J tersebut yakni Ferdi Sambo. 

Tuntutan yang diajukan oleh JPU kepada Richard Eliezer lebih berat dari pada tuntutan yang dajukan kepada Putri Candrawati, Kuat Ma'ruf, dan Ricky Rizal karena  Richard dianggap merupakan pelaku atau eksekutor pembunuhan terhadap almarhum Brigadir Yosua.

JPU menilai Bharada E telah terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di Komplek Perumahan Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan sebagai eksekutor penembakan terhadap almarhum Brigadir J.

Dalam surat tuntutan yang dibacakan oleh JPU, pria bernama lengkap Richard Eliezer Pudihang Lumui ini dinilai  telah melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Atas tuntutan 12 tahun penjara yang diajukan oleh JPU kepada Bharada E yang notabene lebih tinggi jika dibandingkan dengan tiga tersangka lain yang masing-masing hanya dituntut dengan delapan tahun penjara, banyak pihak yang merasa kecewa kepada JPU karena menilai bahwa Bharada E seharusnya bisa mendapatkan tuntutan hukuman yang lebih ringan dari jaksa karena dirinya berstatus sebagai justice collaborator dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap brigadir J tersebut.

Namun banyak juga pihak lain yang menganggap bahwa tuntutan yang diajukan JPU kepada Richard sudah sesuai dengan perannya dalam kasus pembunuhan berencana tersebut serta sudah memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban.

JPU dalam pertimbangannya menilai bahwa tuntutan 12 tahun penjara yang diajukan oleh jaksa kepada Bharada E sebenarnya sudah jauh lebih rendah dari tuntutan yang semestinya ia dapatkan jika dilihat dari pasal yang disangkakan kepadanya yakni Pasal 340 subsider Pasal 338  juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Jika merujuk kepada Pasal 340 KUHP, ancaman pidana bagi para pelaku kejahatan yang melanggar pasal ini adalah maksimal hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup.

Tuntutan 12 tahun penjara yang saat ini diajukan oleh JPU kepada Bharada E juga jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan tuntutan yang diajukan oleh JPU kepada Ferdi Sambo.

Selain itu, JPU juga menilai bahwa Bharada E telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan sebuah tindak kejahatan yang membuat hilangnya nyawa orang lain atau pembunuhan dengan sengaja, meskipun ia berdalih bahwa hal tersebut ia lakukan berdasarkan perintah dari atasanya.

JPU berpendapat, bahwa meskipun Bharada E melakukan penembakan kepada almarhum Brigadir Josua atas perintah langsung dari Ferdi Sambo selaku atasannya, namun perintah tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah perintah jabatan karena isi perintah bertentangan dengan sumpah jabatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta merupakan sebuah tindakan kriminal.

Oleh karena perintah yang diberikan Ferdi Sambo kepada Bharada E bukan merupakan sebuah perintah jabatan meskipun Ferdi Sambo adalah atasan dari Bharada E, maka Bharada E tetap harus mempertanggungjawabkan akibat dari perbuatannya tersebut secara hukum.

Pelajaran Berharga dari Kasus Richard Eleizer 

Dari kasus Richard Eleizer kita bisa mengambil sebuah pelajaran berharga bahwa tidak semua perintah yang diberikan oleh atasan kepada seorang bawahan harus dipatuhi dan dijalankan serta ditelan mentah-mentah tanpa dianalisa terlebih dahulu apakah perintah tersebut merupakan perintah jabatan ataupun tidak.

Sebab, perintah yang salah yakni perintah yang tidak sesuai dengan sumpah jabatan serta perundang-undangan yang berlaku, atau perintah untuk melakukan sebuah tindakan kriminal tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah perintah jabatan.

Sehingga seharusnya, jika perintah yang diberikan oleh seorang atasan kepada bawahan itu jelas-jelas berlawanan dengan sumpah jabatan atau berlawanan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku apalagi merupakan sebuah perintah untuk melakukan tindakan kriminal, maka sudah selayaknya bagi seorang bawahan harus berani untuk menolak perintah yang diberikan oleh atasannya tersebut.

Jadi pada intinya, melaksanakan sebuah perintah yang salah dari atasan bagi seorang bawahan tidak bisa disebut sebagai sebuah bentuk kepatuhan dan ketaatan seorang bawahan kepada atasannya. Karena seorang bawahan hanya boleh patuh, taat dan tunduk kepada atasannya jika mendapatkan perintah jabatan dari atasannya tersebut. Dengan catatan, perintah jabatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Belajar dari kasus yang saat ini menjerat Richard Eleizer di pusaran kasus dugaan pembunuhan berencana atas almarhum Brigadir Josua, maka sudah seharusnya bagi setiap aparat penegak hukum dan aparat keamanan dinegeri ini harus memiliki kemampuan untuk menganalisa setiap perintah yang diberikan oleh atasannya, apakah perintah tersebut merupakan sebuah perintah jabatan ataupun tidak. 

Selain itu, setiap aparat penegak hukum dan aparat keamanan dinegeri ini juga harus dibekali dengan keberanian agar bisa dan mampu untuk menolak setiap perintah salah yang diberikan oleh atasannya. 

Dan bahkan setiap aparat penegak hukum dan aparat keamanan dinegeri ini juga harus berani menegur atasannya yang terindikasi telah memberikan perintah yang salah tersebut.

Sekian dari Jambi untuk Kompasiana. Semoga bermanfaat!

Pematang Gadung, 25 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun