JPU dalam pertimbangannya menilai bahwa tuntutan 12 tahun penjara yang diajukan oleh jaksa kepada Bharada E sebenarnya sudah jauh lebih rendah dari tuntutan yang semestinya ia dapatkan jika dilihat dari pasal yang disangkakan kepadanya yakni Pasal 340 subsider Pasal 338 Â juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jika merujuk kepada Pasal 340 KUHP, ancaman pidana bagi para pelaku kejahatan yang melanggar pasal ini adalah maksimal hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup.
Tuntutan 12 tahun penjara yang saat ini diajukan oleh JPU kepada Bharada E juga jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan tuntutan yang diajukan oleh JPU kepada Ferdi Sambo.
Selain itu, JPU juga menilai bahwa Bharada E telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan sebuah tindak kejahatan yang membuat hilangnya nyawa orang lain atau pembunuhan dengan sengaja, meskipun ia berdalih bahwa hal tersebut ia lakukan berdasarkan perintah dari atasanya.
JPU berpendapat, bahwa meskipun Bharada E melakukan penembakan kepada almarhum Brigadir Josua atas perintah langsung dari Ferdi Sambo selaku atasannya, namun perintah tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah perintah jabatan karena isi perintah bertentangan dengan sumpah jabatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta merupakan sebuah tindakan kriminal.
Oleh karena perintah yang diberikan Ferdi Sambo kepada Bharada E bukan merupakan sebuah perintah jabatan meskipun Ferdi Sambo adalah atasan dari Bharada E, maka Bharada E tetap harus mempertanggungjawabkan akibat dari perbuatannya tersebut secara hukum.
Pelajaran Berharga dari Kasus Richard EleizerÂ
Dari kasus Richard Eleizer kita bisa mengambil sebuah pelajaran berharga bahwa tidak semua perintah yang diberikan oleh atasan kepada seorang bawahan harus dipatuhi dan dijalankan serta ditelan mentah-mentah tanpa dianalisa terlebih dahulu apakah perintah tersebut merupakan perintah jabatan ataupun tidak.
Sebab, perintah yang salah yakni perintah yang tidak sesuai dengan sumpah jabatan serta perundang-undangan yang berlaku, atau perintah untuk melakukan sebuah tindakan kriminal tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah perintah jabatan.
Sehingga seharusnya, jika perintah yang diberikan oleh seorang atasan kepada bawahan itu jelas-jelas berlawanan dengan sumpah jabatan atau berlawanan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku apalagi merupakan sebuah perintah untuk melakukan tindakan kriminal, maka sudah selayaknya bagi seorang bawahan harus berani untuk menolak perintah yang diberikan oleh atasannya tersebut.
Jadi pada intinya, melaksanakan sebuah perintah yang salah dari atasan bagi seorang bawahan tidak bisa disebut sebagai sebuah bentuk kepatuhan dan ketaatan seorang bawahan kepada atasannya. Karena seorang bawahan hanya boleh patuh, taat dan tunduk kepada atasannya jika mendapatkan perintah jabatan dari atasannya tersebut. Dengan catatan, perintah jabatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.