Nama motif Parang diambil dari kata Pereng yang berarti lereng.
Hal ini sesuai dengan corak Perengan yang berbentuk sebuah garis menurun dari tinggi ke rendah secara diagonal, dengan ciri khas susunan motif seperti huruf S yang saling menjalin dan tidak terputus.
Menurut Rouffaer dan Joynboll, motif ini berasal dari pola bentuk pedang yang biasa dikenakan para ksatria dan penguasa saat berperang.
Dalam versi lain disebutkan bahwa motif Parang diciptakan oleh Panembahan Senopati saat mengamati gerak ombak Laut Selatan yang menerpa karang di tepi pantai.
Pola garis lengkungnya diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam, dalam hal ini yang dimaksud adalah kedudukan raja.
Sedangkan komposisi miring pada motif Parang ini juga menjadi lambang kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.
Lalu mengapa panitia acara resepsi dan akad nikah Kaesang Pangarep dan Erina Gudono tidak memperbolehkan para tamu undangan mengenakan batik dengan motif Parang tersebut?
Konon, menurut kepercayaan masyarakat jawa, khususnya yang tinggal di daerah Kota Yogyakarta dan Solo Jawa Tengah, beberapa jenis batik dengan motif Parang ada yang masuk ke dalam jenis batik larangan.
Dengan kata lain, beberapa motif batik Parang ini hanya bisa digunakan oleh orang-orang tertentu saja karena penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta.
Biasanya, yang diperbolehkan mengenakan kain batik motif parang ini adalah para bangsawan dan abdi dalem dari keraton Solo dan Yogyakarta.