Mohon tunggu...
Iwan Sulaiman Soelasno
Iwan Sulaiman Soelasno Mohon Tunggu... -

Pendidikan S1 di Fisip Unas, S2 di Fisip UI. Bekerja di ADKASI (Asosiasi DPRD Kabupaten seluruh Indonesia) sejak 2002 dan menjabat sebagai Direktur Eksekutif ADKASI 2005-2011. Kini Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dan tenaga ahli di DPD RI

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Evaluasi Pelaksanaan UU Desa: Dana Desa Harus Jalan Terus

29 September 2017   11:11 Diperbarui: 29 September 2017   11:46 2072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diawal tahun 2017 ini masyarakat pernah dikejutkan dengan pemberitaan yang berisi tentang Kejaksaan Negeri (Kejari) Gunungkidul, Yogyakarta menetapkan Kepala Desa Bunder, Kecamatan Patuk, Kabul Santosa, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Anggaran Belanja dan Pendapatan Desa (ABPDes) Bunder. Tentu saja ini menjadi tamparan keras bagi pelaksanaan dana desa. Dari kasus ini terlihat nyata bahwa Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Kabupaten Masih Sangat rendah.

Amanat dari Undang -- Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten bertanggungjawab terhadap pembinaan dan pengawasan jalannya pemerintahan desa. Pemerintah Kabupaten jangan hanya berkutat pada persoalan teknis semata, tetapi juga harus memperkuat pencegahan dini korupsi di kalangan pemerintah desa. Pemerintah Kabupaten bisa mengajak aparat penegak hukum di tingkat Kabupaten untuk mencegah korupsi di desa sedini mungkin.

Padahal, sejak 2015 sudah ada Memorandum of Understanding (MoU) antara Asosiasi Pemerintah Desa  Seluruh Indonesia (APDESI) yang diwakili oleh Ketua Umum Buyung Suhardi dengan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ketua Umum Mardani H Maming. MoU ini belum terlaksana dengan baik. Dengan mengacu pada UU Desa dan MoU APDESI dan APKASI, APDESI harus membuka diri untuk bekerjasama dengan APKASI melakukan kerja - kerja bareng di bidang pencegahan korupsi.

Sebagai bagian dari upaya pencegahan, saatnya kini masyarakat desa harus mengetahui siklus pengelolaan keuangan desa termasuk proses penyusunan APBDes. Ada banyak ruang untuk partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan APBDes. Partisipasi masyarakat pun harus terinstitusi dengan baik, misalnya ada peraturan desa (perdes) tentang partisipasi masyarakat.

Memasuki awal Agustus 2017, publik kembali dikejutkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para elite politik dan hukum itu ditangkap karena terkait kasus suap penggunaan dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Saatnya Kementerian Dalam Negeri melakukan evaluasi total terhadap tugas pemerintah kabupaten dalam pengelolaan dana desa. 

Jangan-jangan praktik dugaan korupsi seperti di Pamekasan sesungguhnya juga terjadi di Pemerintah Kabupaten lainnya di Indonesia. Akibatnya, kepala desa menjadi korban dan tersandera oleh kebijakan bupati yang terlampau jauh mengintervensi pemerintahan desa. Alih-alih melakukan tugas pembinaan dan pengawasan, pemkab di bawah bupati malah menjadikan dana desa sebagai ladang baru korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sejak penangkapan  Bupati, Kajari dan seorang Kepala Desa di Kabupaten Pamekasan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT), berbagai persoalan korupsi dana desa di propinsi lainnya perlahan mulai terkuak. Bahkan dalam talk show di Kompastv, seorang pejabat KPK mengusulkan 2 persen dana desa digunakan untuk pengawasan. Lebih parah lagi, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengusulkan Pemerintah untuk menghentikan dana Desa tahun 2018.

Penulis menyatakan tidak sependapat dengan usulan KPK dan ICW tersebut. Menurutnya, dana Desa harus jalan terus dengan berbagai catatan. Pertama, Dana Desa adalah legacy Presiden Jokowi yang sudah tertuang dalam Nawacita. Kedua, dalam konteks pengawasan dana desa, Pemerintah sebaiknya membuat anggaran tersendiri untuk pengawasan, jangan mengambil dari dana desa. Penulis mengusulkan untuk memperkuat inspektorat di tingkat Pemerintah provinsi sebagai Wakil Pemerintah pusat di Daerah. Hanya saja, harus disiapkan terlebih dahulu payung hukumnya. Di tingkat Kabupaten, Pemkab harus melibatkan civil society organization (CSO).

Pengawasan dana desa tidak akan berjalan dengan baik sepanjang koordinasi antar Kementerian dan lembaga belum berjalan maksimal. Budaya birokrasi kementerian dan lembaga masih ego sektoral. Tidak ada institutional driven yang mampu mengorkestrasi dan memimpin jalannya pengawasan dana desa.

Pengawasan dana Desa tanpa diikuti peningkatan kapasitas aparatur desa akan sia-sia. Penulis justru mempertanyakan pendamping desa yang sejauh ini belum berdampak baik pada peningkatan kapasitas aparatur desa di Bidang tata kelola pemerintahan desa. Kita akui bahwa Pemerintah kesulitan anggaran untuk peningkatan kapasitas yang anggarannya memang belum memadai. Pemerintah memang sudah melatih aparatur desa tetapi belum maksimal karena anggaran yang terbatas.

Karena itu penulis mengusulkan Pemerintah harus mendorong peningkatan kapasitas aparatur desa dibiayai dari anggaran Dana Desa. 70 persen Dana Desa untuk pembangunan, pemberdayaan dan belanja pengadaan barang dan jasa. Sisanya 30 persen untuk belanja aparatur yang juga dapat dialokasikan untuk program peningkatan kapasitas aparatur desa. Pemerintah harus mendorong hal ini terealisasi mengingatkan akan ada kenaikan jumlah dana desa tahun depan.  

Kementerian Desa PDTT Jangan Represif kepada Desa

Setelah tiga tahun berjalan, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa dan pelaksanaan dana desa sudah tidak lagi sesuai dengan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Hal ini dipicu oleh peraturan perundang - undangan dibawah UU Desa yang justru bertentangan dengan UU Desa itu sendiri. Pemerintah pusat masih saja menerapkan prinsip top down dalam pengelolaan dana desa.

Sebagaimana di ketahui bersama, Kementerian Desa PDTT saat ini memiliki 4 program unggulan terkait penggunaan dana desa, antara lain Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades), mengembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), membangun embung air desa, dan membangun sarana olahraga desa.

Keempat program unggulan Kementerian Desa PDTT menunjukan bahwa Kemendes mendikte aparatur pemerintah desa dengan mempersempit cakupan program dan kegiatan yang menggunakan dana desa. "Tidak semua Desa butuh 4 program itu. Jangan dipersempit dan jangan represif lah kepada desa.

Hal ini jelas - jelas melanggar amanat UU Desa yang sangat mengedepankan penyusunan program berdasarkan kebutuhan warga desa. Ini yang menjadi poin krusial dalam evaluasi 3 tahun pelaksanaan UU Desa, yaitu Kemendes mereduksi asas kognisi dan subsidiaritas yang menjadi asas terpenting dalam UU Desa. Pemerintah pusat terutama Kementerian Desa PDTT harus kembali kepada UU Desa sebagai payung hukum pelaksanaan dana desa. Pemerintah pusat sebaiknya hanya memberikan pedoman tentang penggunaan dana desa untuk pembangunan dan Pemberdayaan warga desa. Jangan malah mendikte. Sebab, mandat dari UU Desa adalah memperkuat kewenangan desa.

Tata Kelola Pengawasan Dana Desa Belum Jelas ?

Porsi pembinaan dan pengawasan pelaksanaan UU Desa sejatinya berimbang. Namun demikian, pengawasan dana desa sudah mendesak untuk segera direalisasikan agar Korupsi dana desa tidak terjadi lagi di masa mendatang. Alih - alih memperkuat tata kelola pengawasan dana desa, pemerintah sejauh ini malah belum mempunyai mekanisme yang jelas soal tata kelola pengawasan desa. Bahkan, Kementerian dan Lembaga cenderung berjalan sendiri - sendiri dalam melakukan pengawasan desa.

Sebut saja Kemendes PDTT yang telah Membentuk Satgas Dana Desa, kemudian Kementerian PMK pimpinan Puan Maharani yang telah membentuk Tim Evaluasi Dana Desa, ada lagi Kejaksaan Agung yang akan melakukan pengawasan dana desa dengan memanfaatkan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) yang berbasis di Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) juga telah menyiapkan Metode pemeriksaan anggaran belanja desa sebagai bagian dari upaya mengawasi dana desa. Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) turut andil dan telah lebih dahulu melakukan pengawasan tata kelola keuangan desa dengan menggunakan aplikasi Sistem Keuangan Desa (SISKEUDES) yang sejauh ini banyak dikeluhkan oleh aparatur desa. Sedangkan KPK akan fokus pada pencegahan korupsi dana desa.

Di tingkat daerah, dana desa malah berjalan tanpa pengawasan. Tidak ada langkah konkret dari Inspektorat di Provinsi dan Kabupaten/Kota. DPRD pun bak macan ompong. Aturan pelaksanaan dana desa yang lebih banyak dalam bentuk peraturan bupati (perbup) ketimbang peraturan daerah (perda) sepertinya menjadi alasan bagi DPRD enggan mengawasi dana desa.

Dengan banyaknya Kementerian dan Lembaga di tingkat pusat yang melakukan pengawasan dana desa maka dibutuhkan adanya sistem tata kelola pengawasan dana desa yang jelas sehingga tidak membingungkan aparatur desa yang bekerja di bawah. Presiden harus turun tangan dalam merumuskan tata kelola pengawasan pelaksanaan UU Desa. Mengingat pelaksanaan UU Desa sebagian besar menjadi domainnya Kemendagri, maka Presiden harus perintahkan Mendagri menjadi leader dalam pengawasan dana desa. Kemendagri juga harus memperkuat inspektorat.

UU Desa itu bukan hanya dana desa. Ada pembangunan desa dan pemberdayaan desa yang juga harus diawasi pelaksanaannya. Pemerintah harus segera rumuskan tata kelola pengawasan desa agar bisa berjalan bareng dengan pembinaan aparatur desa.

Apa Peran APDESI ?

Asosiasi Pemerintah Desa seluruh Indonesia (APDESI) harus bersatu seperti asosiasi pemerintahan daerah lainnya yang ada di Indonesia. Asosiasi Bupati ya hanya ada satu. Asosiasi Walikota juga cuma satu. Begitupun Asosiasi Gubernur. Maka APDESI sejatinya juga harus satu. Hal ini mendesak direalisasikan untuk memudahkan APDESI terlibat penuh dalam pembinaan dan pengawasan pelaksanaan UU Desa. Misalnya, sudah saatnya APDESI ikut terlibat dalam mendorong pelaksanaan program BPKP RI yaitu SISKEUDES di seluruh Pemerintah Desa.

Contoh kasus lain yaitu Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) kini sedang  menyiapkan metode untuk pemeriksaan penggunaan anggaran belanja desa di tahun 2017. BPK memastikan pemeriksaan akan dilakukan di seluruh provinsi. Jika dalam proses pemeriksaan ditemukan adanya potensi kerugian negara yang terindikasi kuat terjadi karena faktor kesengajaan dari aparatur desa, maka BPK akan menyerahkan hasilnya ke aparat penegak hukum. Tapi kalau itu kelalaian, akan diserahkan ke inspektorat. Maka dibutuhkan peran serta APDESI untuk bekerja sama dengan BPK RI.

APDESI harus Mendukung langkah BPK. Bahkan sebaiknya pemeriksaan anggaran belanja desa benar - benar dilakukan di semua propinsi yang didukung oleh kantor Perwakilan BPK di semua propinsi. Mengenai Desa mana yang akan diperiksa BPK, tentu tidak semuanya. Silakan BPK tentukan berdasarkan indikator ekonomi, sosial, politik dan geografis desa tersebut. APDESI harus siap bantu BPK, karena kepengurusan APDESI juga ada di provinsi, kabupaten sampai Kecamatan.

Rencana BPK menyiapkan metode pemeriksaan anggaran belanja desa terutama untuk memperkuat pengawasan . BPK itu jauh lebih berkompeten dan berpengalaman dalam melakukan pemeriksaan anggaran daerah ketimbang Kementerian atau Lembaga lain.

Ada 7 sumber pendapatan desa sesuai UU Desa, antara lain Pendapatan Asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa; Dana Desa dari APBN dalam belanja transfer ke daerah/desa; Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota yaitu paling sedikit 10% dari pajak dan retribusi daerah

Alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota yaitu paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus; Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota; Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan pendapatan Desa lainnya yang sah. Metode BPK ini harus mampu melakukan pemeriksaan terhadap ketujuh sumber pendapatan desa yang kemudian dibelanjakan oleh pemerintah desa, karena disinilah korupsi rawan terjadi.

Laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK terhadap anggaran belanja desa tidak hanya diserahkan ke inspektorat, tetapi juga diserahkan ke Badan Permusyawaratan Desa (BPD). "Di UU Desa, BPD adalah lembaga legislatif desa yang mempunyai mandat menyalurkan aspirasi, merencanakan anggaran, dan mengawasi pemerintah desa. Paling tidak BPD mempunyai akses untuk mendapatkan LHP ini. Peran BPD jangan dilupakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun