Mohon tunggu...
Sukardi Ilyas
Sukardi Ilyas Mohon Tunggu... lainnya -

MUSUH SBY, ANTI KAPITALIS, DARI TERNATE UNTUK INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Lagi Ada Perang Saudara “Serdadu”

29 April 2012   07:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:58 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan tidak diberlakukannya dwifungsi ABRI. Seolah berdampak pada kondisi dua saudara. TNI dan Polri hari ini. Saat Dwi Fungsi ABRI belum ditiadakan. Tentara "superior" dan Polisi "inferior". Kini keadaan mulai berbalik. Polisi berkuasa atas pengamanan sedangkan TNI hanya membantu. Itupun jikalau diminta. Bukan lantas penulis ingin mengatakan bahwa keputusan tidak berlakunya Dwi Fungsi ABRI merupakan sebuah kesalahan atau sumber dari segala masalah_causa prima konflik.

Permasalahan yang mendasar dari benih konflik itu tidak lain adalah, arogansi institusi, perbedaan pelayanan kesejahteraan,  dan  iri hati. Intinya semua tidak terlepas dari persoalan moralitas_ mores (tata kelakuan). Disatu sisi gaya Polisi "militeristik" juga membuat citra Polri semakin memburuk. Aparat TNI juga masih ada yang suka berbicara mengenai keamanan, yang sebetulnya menjadi bagian dari tugas Polisi. "Kenapa bukan saja Polisi yang mengurusi masalah keamanan, jangan lagi nama TNI selalu dilibatkan."

Untuk kesekian kalinya perseturuan dan peperangan yang dilakukan antara TNI dan Polri terulang di Negeri Serambi Madina. Tepatnya di kecamatan Limboto, salah satu Kabupaten di Gorontalo. Secara institusi dan keorganisasian, Militer (TNI dan Polrri) merupakan instansi yang diatur oleh Negara. Berorientasi dalam bidang pertahanan dan keamanan untuk meng-counter segala bentuk ancaman (truth)  terhadap keutuhan dan keamanan masyarakat.

Tindakan kekerasan yang tercermin dalam peristiwa penyerangan antara Brimob Polda Gorontalo dan anggota Brigif Konstrad 221 Motuliato Gorontalo (21/4/2012) kemudian  menyulut konflik berhari-hari,  hingga menelan korban sebanyak delapan orang (enam dari TNI dan dua dari Polri). Prilaku ini bukan mengulang kembali sejarah kekerasan masa lalu. Akan tetapi merupakan tindakan melanjutkan sejarah kekerasan di negeri Serambi Madinah (baca: Gorontalo).

Fenomena "Gunung Es"

Terjadinya Konflik (baca: pertikaian) yang berujung pada bentrokan fisik antar prajurit TNI dan Polri, dengan modus konflik beragam bagai fenomena puncak "gunung es". Di permukaan intensitas "gunung es"-nya terlihat sangat kecil. Namun di balik itu semua, tersimpan banyak lagi potensi bentrokan. Sewaktu-waktu dapat meledak. Bagai api dalam sekam, Tanpa ada pihak atau golongan siapapun yang dapat menghentikannya. Karena masing-masing TNI dan Polisi memiliki sarana kendali pertahanan "persenjataan" lengkap. Bagi pihak yang berkehendak menjadi mediator, sedari awal pasti akan takut dengan persenjataan mereka.

Kejadian yang mengedepankan arogansi kebrutalan ini. Adalah  "tamparan" bagi instansi pemerintah. Khususnya (TNI dan Polri) di negeri ini. Sebuah Instansi yang berfungsi sebagai pelindung, pengayom masyarakat, dan melindungi dari segala ancaman. Kini telah "diperkosa" oleh kelompok internal TNI dan Polri sebagai ajang  saling "baku-tembak".

Suatu hal yang ironis pula  ditampilkan oleh kelompok serdadu. Perseteruan persaudaran di atas, sebuah kesadaran (counsciens) yang "haram". Konspirasi yang dibangun sekan-akan seperti cerita kisah "Tom and Jerry", tidak pernah akur dan damai. Keharmonisan bukan lagi sebagai bagian strategi filterisasi, dari segala tipe patologi sosial kejahatan yang akan terjadi. Keteladan yang dibangun hanyalah sebuah "harapan kosong". Harapan yang memberikan ruang kepada masyarakat untuk menjadi "khufur".

Sejarah darah dan sumpah Indonesia kini mulai bangkit kembali. Pertempuran  mencerminkan sebuah kekuatan menjadi kehancuran besar. Akibat kesalahan berpikir terhadap konsep  "logika perdamaian" bangsa. TNI dan Polri sudah mulai kehilangan arah dan tidak mampu menentukan kemana harus bergerak. Senjata dan peluru yang berbicara. Seakan-akan Polri "membunuh" TNI adalah "pahala". Begitu juga sebaliknya.

Bentrokan antara prajurit TNI dan Polri bukan hal yang lumrah dan menjadi latah terulang dalam beberapa waktu ke depan. Terkait masih kuatnya ego personal masing-masing institusi kedua institusi tersebut, pasca pemisahan TNI dan Polri.

Penyebab Konflik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun