Dari sini, lagi-lagi kita dihamparkan fakta bahwa prediksi bukanlah angka mutlak yang harus diterima mentah-mentah. Jangan mendewa-dewakan prediksi atau survey. Apalagi situasi politik Indonesia yang sangat dinamis. Tidak ada yang bisa menebak apa yang terjadi pada akhirnya.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Jika kita berbicara tentang objek pem-bully-an sebelum pileg digelar, maka PKS adalah juaranya. Kasus korupsi yang menimpanya menjadi pemicunya. Namun, selepas pileg 9 April, PKS masih tetap saja dijadikan objek untuk di-bully. Dasarnya adalah ketidakmampuan PKS untuk meraih targetnya yakni posisi 3 besar. Hasil quick count menunjukkan bahwa PKS berada di luar 3 besar. Atas target yang tidak tercapai itulah, banyak pihak, terutama lewat akun-akun twitter, melakukan pem-bully-an.
Harus diakui bahwa target 3 besar bukanlah hal yang mudah dicapai. Apalagi PKS baru saja dihadapkan pada kasus yang melibatkan mantan presiden partai. Alih-alih menurunkan target, seorang Anis Matta, justru tetap konsisten dengan target ini. Tentu saja, secara realistis ini tidak akan mudah. Perlu upaya keras untuk kembali membangun kepercayaan publik. Hasil pileg kemudian mengonfirmasikan bahwa PKS tidak mampu mencapai targetnya itu.
Namun, yang menarik dari fenomena ini adalah sikap PKS yang justru tetap berbahagia, walaupun targetnya meleset. Ada aura "kemenangan" yang dirasakan oleh kader dan simpatisan PKS. "Kemenangan" itu bukan karena PKS mampu melewati PT. Bukan itu. Namun, "kemenangan" terbesar adalah saat PKS mampu membalikkan banyak survey, harapan, dan prediksi pihak lain yang pesimis akan eksistensi PKS di pemilu kali ini.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Lagi-lagi lewat Twitter, kita bisa mengikuti lebih dalam bagaimana twitwar dilakukan oleh banyak pihak terhadap objek-objek tertentu. PDIP yang menjadi jawara pileg kali ini berdasarkan hasil quick count, juga tidak lepas dari ajang pem-bully-an. Apa pasal?
Sang jawara di-bully justru karena kemenangannya ini. Hal ini dikaitkan dengan adanya rilis banyak lembaga yang menyatakan bahwa PDIP adalah partai terkorup. Banyak akun-akun twitter yang kemudian mengomentari mengapa partai terkorup bisa memenangkan pileg ini.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa PDIP bersama Golkar adalah partai dengan jumlah korupsi terbanyak. Temuan ini banyak beredar di dunia maya baik oleh lembaga resmi maupun tidak resmi. Data ini dikumpulkan, paling tidak setelah 15 tahun era Reformasi berjalan.
Hal lain yang menjadi dasar pem-bully-an adalah fenomena Jokowi Effect yang ternyata tidak sesuai harapan. Untuk hal yang satu ini, bully yang dilakukan terkait dengan kejumawaan PDIP yang terlalu prematur untuk meraup >30% suara. Kejumawaan ini mungkin sangat beralasan mengingat ada banyaknya survey yang mengindikasikan kemenangan besar partai bernomor urut 4 ini. Namun, apa daya. Hasil pileg berbicara lain.
***