Mohon tunggu...
Sukamto Mamada
Sukamto Mamada Mohon Tunggu...

Lahir dan besar di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Merantau ke Bumi Anging Mammiri. Bekerja di Unhas. Sekarang lagi nyangkut di USA. Salam kenal semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasdem = Logistic Effect, PKB = Rhoma Effect, PKS = Kader Effect, PD = Nazaruddin Effect

10 April 2014   15:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:50 2501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu hal menarik dari perhelatan pemilu 2014 ini adalah munculnya banyak kejutan seperti yang telah saya tuangkan dalam tulisan saya sebelumnya. Kejutan itu tentu saja tidak lepas dari berbagai macam faktor pendukung. Nah, salah satu faktor pendukung itu adalah kemunculan Affecting Factor. Yang paling populer dari istilah ini adalah Jokowi Effect. Belakangan muncul juga Rhoma Effect. Lalu disusul kemudian oleh Prabowo Effect.

Logistic Effect

Harus diakui bahwa NasDem menghadirkan kejutan di belantara politik Indonesia saat ini. Hal ini terkonfirmasi dari perolehan suara signifikan yang diraupnya pada pemilu kali ini. Berdasarkan Quick Count (QC) Kompas, raupan suara partai ini ada di angka 6.7%. Nah, jika partai lain memiliki mengandalkan tokoh-tokoh tertentu dalam menggaet minat pemilih, maka NasDem tidak punya itu. Perolehan suara signifikan itu lebih disebabkan oleh Logistic Effect. Hal ini menjadi sangat beralasan melihat afiliasi parpol ini ke sejumlah media-media besar di tanah air.

Rhoma Irama and Rusdi Kirana Effects

Raupan suara sebesar 9.15% menjadikan PKB sebagai partai berbasis Islam terbesar di Indonesia kali ini. PKB berhasil menaikkan suaranya sekitar 2 kali lipat dibandingkan pemilu 2009 lalu. Siapa yang berperan? Ada dua "effect" yang memainkan peranan penting. Ada Rhoma Effect dan Rusdi Kirana Effect. Jika Rhoma memberikan peluang untuk menggaet suara melalui kepopulerannya, maka Rusdi Kirana mendukung pencapaian PKB ini lewat kucuran logistik yang memadai.

Kader Effect

PKS tidak memiliki ketergantungan pada tokoh tertentu. Sosok Anis Matta, Ahmad Heryawan dan Hidayat Nurwahid masih belum setenar sejumlah tokoh parpol lain. Namun, apa yang menyebabkan PKS mampu bertahan dari badai yang menerpanya selama setahun ini? Tidak lain dan tidak bukan karena Kader Effect. Effect yang satu ini memang tidak bisa dipungkiri menjadi pemicu utama eksistensi PKS di pemilu kali ini. Sistem kaderisasi yang kuat di PKS cukup menjadi alasan mengapa kader-kader PKS begitu militan dan punya semangat juang tinggi untuk memenangkan partai ini..

Jokowi Effect

PDIP sangat terhubung erat dengan istilah ini. Walaupun Jokowi Effect kurang ngefek di pemilu kali ini, namun tetap saja Jokowi Effect sangat terlihat jelas pada media-media pemberitaan. Harapan PDIP untuk meraup suara >30% dengan "memanfaatkan" Jokowi, ternyata tidak kesampaian setelah hasil QC memprediksi partai ini hanya mampu meraih 19.21% suara. Alhasil, koalisi harus tetap dilakukan.

Prabowo Effect

Gerindra menjadi partai dengan kenaikan suara yang sangat siginifikan yakni sebesar 7%. Walaupun didukung oleh logistik yang memadai, namun faktor utama yang menjadi dasar kenaikan ini adalah sosok Prabowo Subianto. Prabowo Effect muncul di sini. Ada apa dengan Prabowo? Sosok Prabowo merupakan antitesis dari sosok SBY yang dinilai plin plan oleh sebagian besar masyarakat. Sosok Prabowo dinilai tegas dan berani.

***

Itulah beberapa effect yang muncul saat pemilu kali ini. Affecting factor ini dinilai menjadi faktor utama atas pencapaian positif setiap parpol. Namun, penurunan suara atau perolehan suara yang tidak sesuai ekspektasi pun tidak lepas dari faktor-faktor terkait.

Nazaruddin Effects

Efek yang satu ini memainkan peran sangat  penting. Sebagai partai pemerintah, Partai Demokrat harus menerima kenyataan bahwa suaranya tergerus sampai di angka 9.45%. Angka ini juga yang mengkonfirmasi bahwa banyak kebijakan ditambah lagi kasus-kasus korupsi yang menimpa benar-benar melukai rakyat. Agaknya kasus-kasus korupsi kader PD-lah yang paling menyita perhatian publik, sehingga memutuskan berpindah partai. Dan semua itu bermula dari seorang Nazaruddin yang sampai sekarang pun masih terus "bernyanyi". Belum lagi adanya Anas Effect yang melakukan perlawanan secara internal terhadap SBY.

Lapindo Effect

ARB belum bisa membawa partai Golkar mencapai perolehan yang berbeda signifikan dengan raihan mereka di pemilu 2009 lalu. Banyak isu yang memang mengiringi perjalanan ARB sebagai capres Golkar. Namun, dari sekian banyak isu tersebut, kasus Lumpur Lapindo menjadi isu utama yang terus digulirkan oleh lawan-lawan politiknya. Ironisnya, di tengah isu ini, muncul kembali kasus-kasus yang justru menggerus suara partai, semisal video liburannya di Maladewa.

Wiranto Effect

Efek yang ditimbulkan oleh Wiranto di sini tidaklah seperti yang dimiliki Prabowo effect. Jika Prabowo menjadi pemicu utama atas kenaikan suara Gerindra, maka Wiranto justru sebaliknya. Suara Hanura sangat tidak sesuai ekspektasi. Sebenarnya, Hanura sudah memiliki logistik dan pendanaan serta publikasi yang cukup, bahkan berlebih. Apalagi setelah HT bergabung. Yang menjadi masalah di sini adalah sosok Wiranto itu sendiri yang memang sepertinya tidak "matching" dengan perpolitikan di Indonesia. Setelah 2004 dan 2009 kalah, kali ini pun Wiranto harus kalah lagi.

***

Salam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun