Mohon tunggu...
Sukamto Mamada
Sukamto Mamada Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lahir dan besar di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Merantau ke Bumi Anging Mammiri. Bekerja di Unhas. Sekarang lagi nyangkut di USA. Salam kenal semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Asam Traneksamat: Antiperdaharan yang "Berdarah"

17 Februari 2015   18:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:02 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424181103742075319

[caption id="attachment_397661" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi (Shutterstock/Kompas.com)"][/caption]

Beberapa waktu yang lalu, sebuah artikel yang dirilis tahun 2012 menurunkan sebuah case report terkait dengan kematian seorang pasien yang sebelumnya mendapatkan injeksi yang salah. Kematian pasien tersebut, seperti yang diutarakan dalam artikel, terjadi karena adanya kesalahan dalam pemberian injeksi, yang seharusnya bupivakain, tetapi karena adanya kesalahan, justru pasien itu diberikan injeksi asam traneksamat.

Membaca artikel ini, saya kaget. Ternyata kasus yang sedang terjadi di Indonesia yang menimpa PT. Kalbe Farma sudah pernah terjadi di tempat lain. Pada kasus di atas, kesalahan dipicu oleh kemiripan kemasan antara bupivakain dan asam traneksamat, sehingga petugas kesehatan salah mengambil obat yang semestinya. Untuk kasus di Indonesia sekarang, penyebabnya bukan kemiripan kemasan, tetapi kesalahan pelabelan. Yang seharusnya dilabeli asam traneksamat, justru dilabeli bupivakain.

Walaupun penyebab kelalaiannya tidak persis sama, tetapi kesalahan ini merujuk pada kasus yang sama yakni pemberian asam traneksamat yang tidak disadari. Beranggapan bahwa yang diberikan adalah bupivakain, ternyata asam traneksamat-lah yang diinjeksikan.

Bupivakain

Obat ini adalah golongan obat anestesi lokal. Biasanya diberikan jika ingin melakukan operasi kecil, misalnya saat proses kelahiran atau saat operasi gigi. Dengan pemberian obat ini, rasa sakit akan dihambat penyebarannya sehingga pasien tidak merasakan nyeri akibat operasi yang sedang dialaminya. Bupivakain diberikan dengan cara injeksi langsung, baik melalui sumsum tulang belakang maupun otak.

Asam traneksamat

Asam traneksamat diindikasikan untuk menghentikan loss of fluids akibat perdaharan yang terjadi, misalnya pada kasus-kasus kecelakaan dan operasi bedah. Obat ini dapat diberikan baik secara injeksi IV maupun secara oral. Beberapa efek samping umum yang dilaporkan setelah pemberian obat ini dengan cara dan dosis yang benar berupa gangguan pada saluran pencernaan, seperti mual, muntah dan diare.

Efek samping fatal asam traneksamat

Pada kasus dalam artikel di atas, pasien tersebut mengalami kematian 5 jam setelah pemberian asam traneksamat yang dikira bupivakain. Gejala awal yang muncul adalah munculnya kejang yang kemudian diikuti kolaps kardiovaskular yang mengarah kepada hipotensi parah.

Menurut beberapa situs berita nasional, dua orang korban meninggal akibat kesalahan pemberian "bupivakain" juga diawali dengan kejang. Setelah kejangnya berkurang, pasien kemudian mengalami gangguan pada sistem jantungnya yang memunculkan banyak efek fatal sampai akhirnya berujung pada kematian.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa pemberian asam traneksamat dalam dosis normal hanya akan memunculkan efek samping minor, seperti yang disampaikan di atas. Namun, pemberian dosis besar dan langsung diinjeksikan ke sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang) akan memicu terjadinya kejang, seperti yang terlihat pada kasus-kasus epilepsi.

Inilah yang menjadi kecenderungan dari sebagian besar peneliti untuk menjelaskan efek fatal asam traneksamat. Efek samping serius dari asam traneksamat merupakan imbas dari pemberian obat ini dengan CARA dan DOSIS yang salah sehingga memunculkan gejala fatal seperti, kejang, hipotensi parah, bahan kematian.

Mengapa asam traneksamat bisa menyebabkan kejang?

Masih ada perbedaan di antara para peneliti terkait dengan mekanisme asam traneksamat sehingga memunculkan efek kejang apakah menghambat kerja glisin atau asam gamma amino butirat. Akan tetapi, walaupun ada perbedaan, prinsipnya sama. Baik glisin maupun asam gamma amino butirat (Gamma Amino Butyric Acid/ GABA) adalah zat penghambat (inhibitory neurotransmitter) yang sebagian besar terdapat di otak. Sebagai zat penghambat, ke-2 zat ini akan menghambat stimulasi berlebihan pada otak. Jika stimulasi terjadi secara berlebihan, terutama pada saraf otak, maka salah satu efek yang muncul adalah kejang. Dengan adanya glisin dan GABA, stimulasi berlebihan tersebut akan dihambat, sehingga saraf tidak mengalami overstimulasi.

Nah, asam traneksamat dicurigai oleh para peneliti memiliki efek penghambatan terhadap kerja glisin dan GABA. Akibatnya, kerja glisin dan GABA menjadi terganggu. Hal ini akan berujung pada kondisi dimana glisin dan GABA tidak mampu lagi menghambat stimulasi berlebihan yang terjadi pada saraf. Akibatnya, potensi terjadinya kejang menjadi semakin besar.

Selain mekanisme di atas, masih ada beberapa teori lain yang diusulkan untuk menjelaskan proses terjadinya kejang pada pasien yang menerima asam traneksamat dalam dosis atau cara pemberian yang tidak tepat. Beberapa laporan penelitian lain menyebutkan bahwa kematian pasien akibat kesalahan pemberian asam traneksamat dimulakan dari kejang yang terjadi.

Apa yang harus dilakukan sekarang?

Jika merujuk pada kasus yang dipaparkan di artikel di atas, dimana ada kesalahan dalam pengambilan obat akibat kemiripan kemasan, maka perlu kehati-hatian yang lebih tinggi bagi mereka yang terlibat. Perlu pengecekan secara berlapis untuk mencegah agar kasus ini tidak terjadi lagi. Dokter, apoteker dan perawat perlu bekerja sama secara apik untuk menghindari terulangnya kejadian ini.

Untuk kasus di Indonesia sekarang, dimana kesalahan terjadi pada proses produksi, maka tidak ada jalan selain memperbaiki proses kontrol. Bidang quality control dan quality assurance di industri farmasi harus ditingkatkan kinerjanya dan pengawasannya.

Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus memperbaiki cara pemberian nomor registrasi produk farmasi yang diusulkan oleh industri farmasi. Pengecekan sampai skala struktur zat aktif harus lebih dikuatkan.

Tentu saja, koordinasi antara para stakeholder terkait perlu pula dipermantap. Kementerian Kesehatan, BPOM, industri farmasi, rumah sakit, bahkan sampai apotek harus makin dieratkan koordinasinya.

Semoga kejadian ini tidak terjadi lagi.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun