"Ingin ku panjat punggung tebing itu...
Ku sambangi pelangi di ujung sana..."(Soegi)
AKU sebenarnya telah beberapa kali menyambangi lokasi wisata Lembah Harau. Lembah yang letaknya sekitar 10 km di sebelah Timur kota Payakumbuh itu, tak pernah membuatku bosan. Ada sensasi yang begitu mendalam kurasakan ketika berada di sana. Memandangi tebing yang menjulang seperti gedung pencakar langit, membuat degup jantungku terasa melompat-lompat. Tak henti-henti batinku terpekik ; "Tuhan melukis Harau begitu indah". Menaburi tebing-tebingnya dengan jutaan plasma nutfah. Ribuan spesies serangga, burung dan mamalia. Alunan suara mereka seperti orkestra memainkan sebuah simpony tanpa kord. Tetapi, opera yang tengah dimainkan di antara dahan-dahan Meranti, Medang dan Angsana itu, begitu syahdu. Amazzing! Lembah Harau terbelah dua oleh sungai kecil. Lebarnya sekitar lima meter. Berarus deras namun airnya agak keruh kecoklatan. Sungai itu meliuk-liuk, berkelok-kelok mengikuti jalan beraspal di sisi kanannya. Jalan selebar empat meter itu merupakan satu-satunya infrastruktur yang dibangun Pemda setempat. Selebihnya, sebuah kolam di ujung jalan aspal itu. Tepatnya, di lokasi air terjun Lembah Harau. Ada dua lokasi air terjun di Lembah Harau. Namun, karena kurang ditata agar lebih eksentrik sebagai sebuah tempat wisata, air terjun maupun kolam di bawahnya terkesan biasa-biasa saja. Yang menjadi daya tarik Lembah Harau, justru, keunikan alamnya. Tebing-tebing yang menjulang vertical di sepanjang kiri kanan sungai dan jalan, seakan kita berada diantara dua super blok panjang gedung pencakar langit. Di sepanjang sisi tebing itu, beribu varietas tanaman, hidup. Pilea atau bunga Meriam tumbuh bersusun-susun di antara anggrek Dendrobium yang merambati tubir tebing. Pohon Medang atau kayu Lada bersijajar dengan Meranti Pandak dan Angsana. Ribuan kupu-kupu berbagai jenis dan warna-warni berterbangan kian kemari. Belalang sembah, bunglon, kumbang, capung, ulat bulu, cecak terbang atau bingkarung dan ulat bulu merayap di ranting-ranting Angsana dan Meranti Pandak. Diaroma alam yang tak kutemukan di belantara kota yang sumpek dan membosankan. Di tengah alam ini, jiwaku melayang. Terbang terpantul-pantul tubir tebing. Membentur-bentur pucuk-pucuk angsana. Seirama dengan echo - gaung - suara Siamang yang bersahut-sahutan di pepohonan, jauh di puncak tebing. Keindahan lembah Harau jadi lebih sempurna.
"Ingin ku panjat punggung tebing itu...
Dan, tetirah di pucuknya ..."
Ketika senja telah mulai jatuh, aku menikmati sunset di beranda aula sebuah homestay bernama Echo yang berada tepat di kaki lembah Harau, di sebelah kiri sungai dari arah jalan masuk. Matahari senja yang hilang di balik lembah, menyisakan silhuet warna kekuningan di ujung tebing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H