Kesejahteraan masyarakat tentu merupakan kondisi tujuan atau sasaran utama dalam agenda politik semua negara di dunia. Kesejahteraan yang dimaksud sudah jelas maknanya, seluruh kebutuhan terpenuhi dan taraf hidup dalam tingkat yang memuaskan. Salah satu indikator yang paling populer digunakan untuk menakar kesejahteraan adalah tingkat kemiskinan.
Julkhaidar Romadhon, salah satu Kompasianer, baru-baru ini menuliskan idenya tentang bagaimana menstabilkan harga beras [1]. Tulisannya merespon tentang kenaikan harga beras medium yang kini tengah merangkak naik pada saat artikel tersebut ditulis. Kekhawatiran yang saya tangkap dari tulisan beliau ialah potensi melonjaknya tingkat kemiskinan yang diakibatkan ketidakstabilan harga beras medium di pasaran yang terjadi belakangan. Namun demikian, saya merasakan banyak keganjilan dari tulisan beliau. Artikel ini akan membahas sumber keresahan saya dalam tiga bagian, disertai dengan penjelasan dan argumen yang memadai.
Perlu saya sebutkan bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai pembelaan terhadap pemerintah maupun suatu bentuk tendensi politik, mengingat politik adalah topik yang sensitif menjelang tahun pemilihan umum 2019 nanti. Tulisan ini saya maksudkan sebagai itikad baik untuk memuliakan ilmu pengetahuan dalam bentuk debat ilmiah. Sebagai bagian dari masyarakat akademis Indonesia, saya merasa turut serta menanggung kewajiban mewujudkan cita-cita republik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pertama dan terutama, penting untuk mengetahui hal apa yang melatarbelakangi kenaikan harga beras medium di pasaran. Beberapa sumber berita melaporkan perdebatan tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan bahwa stok persediaan beras aman dan menuding bahwa anomali harga tersebut disebabkan oleh kecurangan di tingkat pedagang [2]. Ketua Umum Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang Zulkifli Rasyid menampik tudingan tersebut dan mengungkapkan bahwa pasokan beras yang masuk dari luar daerah mengalami peningkatan kualitas dan penurunan kuantitas [3]. Satuan tugas pun sudah dibentuk untuk menyelidiki tudingan ini. Potensi penyebab lainnya adalah terbitnya Permendag Nomor 27/2017 yang menyebabkan petani takut menjalin kemitraan dengan pihak swasta yang sebenarnya berdampak positif [3].
Teori ekonomi dengan masalah oversimplificationnya tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah dunia nyata apabila digunakan secara mentah-mentah.
Solusi yang ditawarkan penulis dibuat berdasarkan analisis dengan menggunakan kerangka pikir teori hukum pasar sederhana. Penulis mengajukan solusi berupa penerapan program Beras Sejahtera untuk mengintervensi sisi permintaan, dan/atau operasi pasar oleh pemerintah untuk mengintervensi sisi penawaran. Berdasarkan hasil yang ditemukan oleh berbagai kantor berita, jelas bisa kita simpulkan akar masalah kenaikan harga beras bukan cuma sekedar permintaan yang berlebih maupun jumlah penawaran yang terlalu sedikit. Teori ekonomi dengan masalah oversimplificationnya tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah dunia nyata apabila digunakan secara mentah-mentah. Permasalahan di dunia nyata seringkali lebih rumit daripada sekadar apa yang tertulis dalam buku teks.
Kedua, perlu pula untuk mengetahui apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk merespon masalah tersebut. Badan Urusan Logistik (Bulog) menyatakan akan menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga, serta berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memperluas jangkauan operasi pasar [4]. Meskipun demikian, Bulog mengakui bahwa operasi pasar baru bisa menggelontorkan 4 ribu ton per hari, jauh di bawah target operasi pasar sebesar 15 ribu ton per hari [5]. Selain itu, terdapat pula indikasi bahwa operasi pasar terlambat dilakukan. CNN Indonesia melaporkan bahwa Kementerian Perdagangan telah meminta agar Bulog melakukan operasi pasar sejak lama, namun baru dijalankan pada 22 November 2018 [6]. Kementerian Perdagangan juga berperan mengantisipasi lonjakan permintaan sembako menjelang akhir tahun dengan menyiapkan serangkaian langkah pencegahan [7]. Dengan demikian jelas bahwa pemerintah telah melakukan intervensi, meskipun terdapat beberapa kekurangan dalam pelaksanaannya.
Mengenai efektivitas langkah dan kebijakan yang diambil, saya sendiri berpendapat bahwa langkah dan kebijakan pemerintah hanya berupa penanganan untuk sebab-sebab umum yang dianggap sebagai panacaea (obat untuk segala penyakit). Hal ini mengingat penyebab dan besaran pengaruh yang diberikan terhadap kestabilan harga belum diketahui pasti. Dengan demikian, efektivitas langkah dan kebijakan yang diterapkan pun masih patut dipertanyakan.
Membaca artikel yang ditulis oleh Julkhaidar Romadhon, saya menyimpulkan bahwa penulis mengajukan program Beras Sejahtera (Rastra) sebagai solusi absolut dari masalah kenaikan harga beras medium dan menyayangkan tindakan pemerintah yang memberlakukan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sebagai pengganti Rastra. Maka dari itu, pada bagian ketiga saya ingin memperjelas secara singkat tentang Rastra dan BPNT.
Beras Sejahtera (Rastra) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) merupakan dua program bantuan sosial yang dijalankan oleh pemerintah untuk meringankan beban pengeluaran keluarga yang kurang mampu secara finansial dalam memenuhi kebutuhan nutrisi sehari-hari. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada skema penyaluran bantuan dan pengambilan bantuan. Pengambilan Bansos Rastra oleh keluarga penerima manfaat (KPM) dilakukan di titik bagi yang telah ditentukan dengan kualitas beras sesuai dengan yang dikirimkan dari Bulog [8]. Dalam program BPNT, pemerintah tidak perlu menyalurkan bantuan beras secara fisik. KPM akan diberikan kartu yang berisi saldo bantuan sebesar Rp110.000,- per bulan dan dapat digunakan untuk berbelanja beras dan sembako lainnya di e-warung yang ditunjuk untuk bekerja sama [9]. Dalam Petunjuk Teknis BPNT yang diterbitkan oleh Tim Pengendali Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai, salah satu prinsip BPNT adalah “memberikan pilihan dan kendali kepada KPM tentang kapan, berapa, jenis, kualitas, dan harga bahan pangan serta tempat membeli sesuai dengan preferensi.”
Beberapa kelebihan yang diharapkan dari BPNT adalah kemudahan dalam mengontrol dan memantau penyalurannya, serta mengurangi penyimpangan [10]. Selain itu, terbayangkan berapa anggaran yang dapat dihemat oleh pemerintah daerah dan Bulog sebagai penanggung jawab distribusi Rastra. Meskipun demikian, perlu diperhatikan pula kesulitan yang akan dialami Bulog dalam penyaluran beras medium yang diserap dari petani [11]. Beberapa kelemahan juga diangkat oleh Rachman dan kawan-kawan (2018) mengenai program Rastra dan BPNT. Kelemahan program Rastra ialah masalah ketepatan penerima bantuan, keterlambatan pengiriman, ketepatan jumlah dan kualitas beras. Sedangkan, kelemahan program BPNT ada pada kesiapan e-warung, jangkauan layanan internet di daerah, dan masalah serupa pada sasaran penerima dan kualitas beras [12].
....salah satu prinsip BPNT adalah “memberikan pilihan dan kendali kepada KPM tentang kapan, berapa, jenis, kualitas, dan harga bahan pangan serta tempat membeli sesuai dengan preferensi.” -Petunjuk Teknis BPNT
Menurut saya, sikap penulis untuk mengadvokasikan penerapan Rastra tidak relevan. Penerapan teknologi untuk meningkatkan ketepatan sasaran penerima bantuan adalah suatu hal yang baik. Teknologi telah terbukti mampu membantu manusia dalam berbagai aspek kehidupan, melampaui rintangan jarak dan waktu. Kekhawatiran penulis terhadap mekanisme pasar bebas yang merupakan implikasi BPNT juga sama sekali tidak berdasar. Sisi buruk pasar bebas adalah kegagalan pasar, dalam hal ini ketimpangan pendapatan. Inilah celah yang harus ditambal oleh kehadiran pemerintah, dan program bantuan sosial ini merupakan bentuk konkrit langkah pemerintah untuk menambal celah tersebut.
Melihat sebab gejolak harga yang belum jelas, saya belum mampu menawarkan alternatif solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah gejolak harga beras medium, terutama menjelang puncak siklus konsumsi masyarakat pada musim liburan akhir tahun. Gejolak harga bisa terjadi karena berbagai hal selain kelangkaan pasokan dan tren naik siklus konsumsi. Namun demikian, saya rasa langkah yang dijalankan oleh pemerintah bersama dengan Bulog sudah merupakan langkah antisipatif dan kuratif yang tepat untuk mencari penyebab masalah dan meredam gejolak untuk sementara waktu.
Kesimpulan yang diperoleh adalah masalah gejolak harga beras medium tidak semudah memutuskan untuk mengintervensi sisi penawaran maupun permintaan. Solusinya juga jelas bukan sekadar mengambinghitamkan BPNT dan menekan agar Rastra kembali diberlakukan. Rastra tidak salah, tetapi BPNT juga tidak haram. Kenyataan perlu dicari terlebih dahulu sebelum bisa memformulasikan langkah penanganan yang tepat. Mengabaikan kenyataan adalah satu langkah, atau mungkin lompatan mundur, bagi bangsa kita yang berusaha untuk maju, secara intelektual maupun secara ekonomi.
***
Immanuel Satya Pekerti
Mahasiswa S1 Ilmu Ekonomi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Referensi:
[1] kompasiana.com
[2] cnnindonesia.com
[3] katadata.co.id
[4] tirto.id
[5] katadata.co.id
[6] cnnindonesia.com
[7] tirto.id
[8] tnp2k.go.id - pdf
[9] ponorogo.go.id
[10] metrotvnews.com
[11] detik.com
[12] media.neliti.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H