Mohon tunggu...
Immanuel Satya
Immanuel Satya Mohon Tunggu... Buruh - Terjebak di rumah

Batin gelisah, dalam aksara semua tumpah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mimpi Kemenristekdikti: Perguruan Tinggi Berkelas Dunia di Indonesia

27 Juli 2016   19:07 Diperbarui: 27 Juli 2016   19:17 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore ini, saya baru saja membaca artikel bertajuk “11 PT Didorong Menjadi Universitas Kelas Dunia” dari laman web Universitas Gadjah Mada. Dalam artikel tersebut, Kemenristekdikti mengutarakan harapannya terhadap UGM dan 10 PTN lainnya untuk bisa berada di jajaran 500 perguruan tinggi terbaik dunia. Saya masih bertanya-tanya tentang kemungkinan pencapaian hal tersebut. Bukannya saya seorang pesimis, tetapi masih banyak masalah mendasar yang gagal untuk diselesaikan oleh perguruan tinggi Indonesia.

Sebagai seorang mahasiswa, saya terlibat secara aktif didalam lingkungan internal perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri. Dengan kondisi seperti sekarang ini, saya masih meragukan bahwa perguruan tinggi di Indonesia akan masuk dalam jajaran perguruan tinggi terbaik dunia. Pasalnya, kualitas perguruan tinggi tidak hanya dinilai dari faktor-faktor seperti berapa waktu rata-rata yang dibutuhkan mahasiswa untuk lulus, berapa besar rasio perbandingan antara mahasiswa dan dosen dalam setiap kelas yang diselenggarakan, berapa banyak mahasiswa yang drop-out, dan lain-lain. Kualitas universitas juga dinilai dari berapa banyak publikasi yang dihasilkan. Faktanya, dosen-dosen masa kini bahkan terlalu sibuk mengajar dan sama sekali tidak memiliki waktu untuk melakukan hal-hal seperti penelitian, penulisan artikel ilmiah, dan hal-hal semacamnya. 

Hal ini merupakan masalah mendasar yang tidak akan berubah jika pemerintah tidak sadar bahwa hal ini merupakan sebuah masalah besar. Dosen, dalam kapasitasnya untuk mengajar dan meneliti, juga punya kemampuan untuk membentuk budaya meneliti di kalangan civitas akademika, khususnya mahasiswa. Mahasiswa Indonesia pada umumnya masih belum memiliki ketertarikan pada kegiatan penelitian. Padahal, mahasiswa sebagai ujung tombak dan masa depan kaum intelektual Indonesia seharusnya mampu menciptakan inovasi dan pemecahan masalah-masalah yang umum terjadi di masyarakat. Dengan modal pengetahuan yang dimiliki, bukan salah jika Indonesia menaruh harapan tinggi terhadap mahasiswa kita.

Mau tahu masalah yang lebih mendasar? Plagiarisme. Meskipun tindakan ini telah dikutuk oleh berbagai institusi pendidikan tinggi di Indonesia, salah satu bentuk kejahatan akademis ini masih saja terjadi di kalangan mahasiswa Indonesia. Berbagai kampanye anti-plagiarisme telah rutin dilaksanakan, namun  apa daya, budaya malas dan rendahnya kesadaran mahasiswa untuk belajar demi manfaat pengetahuan itu sendiri masih dominan. Budaya buruk lainnya adalah minimnya budaya literasi. 

Apabila kita menengok sistem pendidikan di negara lain, beberapa negara mewajibkan peserta didiknya untuk menyelesaikan membaca beberapa judul buku dalam jangka waktu tertentu untuk membentuk budaya ini. Jika sejak kecil tidak dibiasakan untuk membaca, maka budaya membaca itu sendiri akan sulit terbentuk ketika sudah dewasa. Saya pun menyesali keadaan tersebut. Saya sebagai mahasiswa yang tidak terbiasa membaca sejak kecil, kini memiliki kesulitan jika harus membaca buku-buku teks pelajaran yang tebal. Sebagian dari Anda mungkin setuju, jika kewajiban untuk membaca buku teks yang amat tebal merupakan sebuah beban psikologis tersendiri untuk dijalani.

Selama masalah-masalah fundamental tersebut masih ada, maka target agar PTN Indonesia masuk dalam jajaran 500 perguruan tinggi terbaik dunia hanya merupakan isapan jempol belaka. Apa yang penting adalah terus mengingat bahwa masalah-masalah tersebut merupakan masalah yang rumit dan harus diselesaikan apapun caranya. Menganggap hal tersebut bukan sebuah masalah tidak menyelesaikan masalahnya sama sekali dan bukan merupakan cara bijak untuk menyingkirkan masalah. Selama masalah tersebut masih ada, mungkin kita, masyarakat Indonesia, bisa berkontribusi dengan memulai penyelesaian masalah dari diri kita sendiri, dari orang-orang terdekat yang kita cintai, demi Indonesia lebih baik dan terdidik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun