Kesempatan berkenalan dengannya terjadi saat ia sedang berkeringat di jalanan Solo, di awal ia mengisi tempat teratas di perusahaan kereta api, beberapa tahun lalu.
Saat itu, ia sedang lari pagi dari Stasiun Purwosari ke Stasiun Palur yang berjarak lebih 10 km.
Tak terlihat kewalahan menempuh jarak sejauh itu di usianya yang sudah menginjak angka 60. Sudah tak muda, namun punya tenaga yang tak kalah dengan mereka yang jauh lebih muda.
Itu berkelebat di ingatan saya saat mendapatkan kesempatan kembali bersua dengannya, orang nomor satu di perusahaan kereta api negeri ini, Didiek Hartantyo, baru-baru ini.
Di sisi rel kereta di Manggarai, tanpa sorotan kamera TV atau kerumunan wartawan.
Bukan di ruangan megah dan "wah", tetapi di bangku panjang yang dibuat oleh pekerjanya dari kayu bekas. Hanya berjarak tiga meter dari pinggiran rel.
Ia duduk di situ, menghadap ke arah kereta api dan Commuter Line yang seliweran beberapa menit sekali.
Tak ada pengawalan selayaknya pejabat atau membawa rombongan orang-orang berpakaian necis.
Ia hanya datang menemui pekerja-pekerja yang mengurus rel, bantalan rel, hingga seabrek pekerjaan yang mengharuskan mereka sering berada langsung di bawah matahari.
Ia menunggu mereka di kursi dari kayu tua namun cukup kokoh itu.