Sekadar candaan anak-anak yang berusaha ceria dengan apa yang ada, di benaknya adalah pemandangan yang justru tidak menyenangkan.
Dari kecilnya ketiga bocah itu hanya bisa merekam kenangan pukulan demi pukulan dari sang ibu. Mata anak-anak bertubuh kurus dan ceking itu nyaris tak menemukan pemandangan lain kecuali pemandangan kemarahan yang dipertontonkan Royani, ibu mereka.
Ke mana ayah mereka? Belum. Ayah mereka belum mati.Â
Abdillah, sang ayah, hanya bisa menjalankan peran sebagai pencari nafkah. Ia tak bisa melakukan apa-apa setiap kali istrinya itu meluapkan amarah.
"Kalau ayah kalian ikut campur, dia juga akan kuhajar!" inilah ikrar sang ibu, istri Abdillah, yang meluncur dari mulutnya setiap kali menghajar anak-anaknya di depan malaikat-malaikat kecil itu, sekaligus di depan Abdillah, suaminya itu.Â
Di rumah berbentuk gubuk tanpa kamar, hanya bersekat triplek yang dipaku seadanya, memang tak lain adalah pinjaman dari kerabat Abdillah. Bagi Royani, tak ada penguasa lain kecuali dirinya di sana. Suaminya harus menjadi suami yang patuh kepadanya, dan jangan berani-berani menantang atau membantahnya.
Royani tak suka dibantah atau disanggah. Meskipun dari lahirnya sendiri sudah akrab dengan kemiskinan, ia hanya ingin menjadi ratu. Seisi rumah mutlak harus tunduk kepadanya. Tak terkecuali suaminya itu, yang menikahinya hanya karena disuruh kawin oleh pamannya, agar bisa segera hidup sendiri. Sebelumnya, Abdillah memang dari kecilnya tinggal bersama adik dari ibunya, Ben Itam.
Jika tidak, ia akan meninggalkan gubuk pinjaman orang itu kapan saja ia mau. Ia pernah membuktikan itu, saat Kenanga masih berusia enam bulan, ditinggalkan dalam ayunan, ia pergi bertahun-tahun.Â
Abdillah sama sekali tidak tahu ke mana sang istri pergi, kendati sudah berusaha mencari ke sana kemari. Royani pergi tanpa berpamitan sama sekali. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H