Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Surga Tak Lagi di Kaki Ibu (Kedua)

28 Januari 2024   23:02 Diperbarui: 28 Januari 2024   23:12 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Shutterstock

Abdo pernah dihajar oleh hidup, bahkan hingga bikin nyawanya nyaris melayang, berkali-kali. Baginya, semua itu tidak lagi menyakitkan. Jika ingin tahu kenapa, tak lain karena dari usia 3,5 tahun sudah terbiasa dihajar ibunya.

Itulah kenapa setiap kali ia membaca cerita kesedihan dan pilunya hidup di linimasa media sosial, Abdo justru terkekeh sendiri. Ia berusaha menampik bahwa ada luka masa kecil yang masih menyisakan perih di ruangan hati dan pikirannya, dan sebenarnya kerap mengusiknya. 

Ia merasa hidupnya sudah sangat terlatih dalam menerima kerasnya hidup. Makanya apa saja dari kenyataan hidup menamparnya saat ia dewasa, Abdo hanya membayangkan masa kecilnya karena sejak ia masih terbata-bata bicara, hidup sudah menghajarnya lewat tangan ibunya sendiri.

Timba plastik yang menghantam kepalanya di usia enam bulan beranjak dari tiga tahun itu, menjadi cerita perkenalannya dengan hidup sesungguhnya. Selebihnya, saat hantaman-hantaman lainnya berdatangan lewat tangan dan kaki ibunya, entah ke badan atau ke kepalanya, ia membiarkan segala rasa sakit dan terhina menderanya begitu saja.

"Ah, mau apalagi, toh ini datang dari pemilik hidupku," menjadi kalimat mantranya, untuk merelakan segala kelakuan ibunya. Ia kerap mengucapkan itu dengan bahasanya sendiri, bahasa anak-anak.

Ya, hantaman timba plastik ke kepalanya itu juga diayunkan ibunya yang kesal karena saat mandi sore dengan abangnya, Redo, malah asik bercanda dan main siram-siraman air. Cipratan air itu mengenai muka sang ibu. 

Jadilah timba plastik yang biasanya digunakan untuk menimba air dari sumur berlumut itu kali ini digunakan untuk menghantam kepala bocah itu. Kaget dan sakit campur baur dirasakan Abdo. 

Ia kaget karena tadinya masih tertawa-tawa dengan Redo, ceria, gembira, sambil bermain air, kini secepat kilat harus berganti dengan tangis yang pecah lantaran bingung di mana salahnya. 

Ditambah lagi bocah tiga tahunan ini harus melihat sorot mata tak berdaya Redo, yang kini dapat giliran merasakan tali timba yang berubah menjadi cemeti mendera kaki, punggung, dan tengkuknya. 

Redo hanya bisa sesenggukan di sudut sumur yang berdinding kain dan bambu, membiarkan ayunan cemeti menjelajah tubuhnya dengan kencang. 

Tali timba itu berukuran sekitar 10 milimeter. Namun saat terayun ke tubuh-tubuh mungil itu, cukup bisa menyisakan rasa perih yang sulit diutarakan. Cuma bisa diluapkan dengan tangis tertahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun