Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Surga Tak Lagi di Kaki Ibu (Pertama)

28 Januari 2024   14:19 Diperbarui: 28 Januari 2024   14:32 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surga yang tak selalu di bawah kaki ibu (Foto: Shutterstock)

Setiap kali orang bicara tentang surga di bawah telapak kaki ibu, ingatan anak muda itu terlempar ke kaki ibunya sendiri. Persisnya, ingatan tentang kaki sang ibu menginjak-injak tubuh kecilnya. 

Itu terjadi saat ia masih berusia sepuluh tahun. Hanya karena ketika ibunya meneriaki namanya untuk mengangkut air, ia sendiri tertidur karena kelelahan sepulang sekolah.

Berang. Ibunya yang merasa suara kerasnya itu tak diopeni sang anak, tiba-tiba datang dengan sebilah kayu seukuran betis orang dewasa. 

"Bak! Buk! Bak! Buk!"

Diikuti dengan sederet sumpah serapah yang mengiringi ayunan kayu ke arah badan bocah sepuluh tahun itu. Ia masih mengira itu cuma mimpi buruk semata, karena dalam setengah sadarnya ia masih ingat tadi ia tidur masih dengan seragam sekolahnya.

Ia baru menyadari ini bukan mimpi buruk yang datang dalam tidurnya, saat kepalanya membentur kerasnya lantai di sisi tempat tidurnya. Sedangkan kaki ibunya sedang menari dengan kemarahan membuncah, menginjak kepala dan tengkuk sang bocah.

Ia menahan air matanya. Menahan keinginan berteriak atas perasaan sakit mendera badan hingga kepalanya. Ia menyibukkan pikirannya dengan pertanyaan, "Ini beneran kaki ibuku? Beneran?"

Benar. Itu adalah kaki ibunya yang sedang menikmati kemarahan atas anak yang lancang karena tidak mendengar suara teriakannya untuk mengangkut ember air. Ya, ia lancang, karena kalah oleh kantuk, hingga indera pendengarannya tak bisa menangkap suara sekencang itu.

Maka, anak kecil ini pun memilih membiarkan saja kaki sang ibu menginjak-injaknya. Ia berusaha menenangkan diri dengan mengingat ulang, bagaimanapun dari sela kaki ibunya itu juga dia lahir. Terserah dialah mau melakukan apa saja terhadapnya.

Cara bocah ini menghibur diri seperti ini menguatkannya untuk menahan tangisan, menahan kesakitan, dan menahan perasaan terhina mendapati kepala di bawah kaki. Ia merelakan semua yang sedang terjadi itu.

Bisa. Buktinya ia bisa. Perasaan sakit hingga perasaan terhina itu bisa ditahan lelaki kecil itu.

Adiknya, gadis kecil bernama Kenanga yang justru histeris ketakutan dan dibalut perasaan kasihan, melihat kakak lelakinya itu diinjak-injak kaki sang ibu. 

Suara tangis Kenanga membahana, memenuhi kamar kecil tanpa dinding itu. Tapi, suara caci maki dari sang ibu jauh lebih keras, dan lebih membahana. Sekuat-kuat tangis seorang bocah, tetap saja masih kalah kuat dibandingkan suara seorang perempuan dewasa yang sedang menikmati kemarahan dan perasaan sebagai penguasa hidup anaknya.

Sementara Abdo, bocah lelaki yang sedang dihajar ibunya itu malah mengasihani adiknya yang menangis nyaris kehilangan suara. Ia berharap perlakuan ibunya itu tidak dilakukan di depan adiknya. Tapi, semua itu terjadi begitu saja. 

Perasaan sakit dan terhina dirasakan bocah lelaki ini tak terlalu dirasakan lagi. Ia lebih merasakan perasaan sakit dan sedihnya Kenanga dengan semua pemandangan di depan mata mereka. Tak bisa berbuat apa-apa.

Kakak beradik itu hanya bisa memasrahkan apa saja yang dilakukan sang ibu. Untuk melawan, mereka takut berdosa. Ya, anak sekecil itu masih berpikir tentang dosa, karena guru agamanya sering menjejali pikiran polos mereka dengan ancaman dosa melawan orang tua. Apalagi melawan ibu, itu cuma dilakukan anak durhaka, dan kelak berujung ke neraka. Mereka takut dengan semua ancaman itu. (Bersambung).

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun