Bisa. Buktinya ia bisa. Perasaan sakit hingga perasaan terhina itu bisa ditahan lelaki kecil itu.
Adiknya, gadis kecil bernama Kenanga yang justru histeris ketakutan dan dibalut perasaan kasihan, melihat kakak lelakinya itu diinjak-injak kaki sang ibu.Â
Suara tangis Kenanga membahana, memenuhi kamar kecil tanpa dinding itu. Tapi, suara caci maki dari sang ibu jauh lebih keras, dan lebih membahana. Sekuat-kuat tangis seorang bocah, tetap saja masih kalah kuat dibandingkan suara seorang perempuan dewasa yang sedang menikmati kemarahan dan perasaan sebagai penguasa hidup anaknya.
Sementara Abdo, bocah lelaki yang sedang dihajar ibunya itu malah mengasihani adiknya yang menangis nyaris kehilangan suara. Ia berharap perlakuan ibunya itu tidak dilakukan di depan adiknya. Tapi, semua itu terjadi begitu saja.Â
Perasaan sakit dan terhina dirasakan bocah lelaki ini tak terlalu dirasakan lagi. Ia lebih merasakan perasaan sakit dan sedihnya Kenanga dengan semua pemandangan di depan mata mereka. Tak bisa berbuat apa-apa.
Kakak beradik itu hanya bisa memasrahkan apa saja yang dilakukan sang ibu. Untuk melawan, mereka takut berdosa. Ya, anak sekecil itu masih berpikir tentang dosa, karena guru agamanya sering menjejali pikiran polos mereka dengan ancaman dosa melawan orang tua. Apalagi melawan ibu, itu cuma dilakukan anak durhaka, dan kelak berujung ke neraka. Mereka takut dengan semua ancaman itu. (Bersambung).
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H