Setiap kali orang bicara tentang surga di bawah telapak kaki ibu, ingatan anak muda itu terlempar ke kaki ibunya sendiri. Persisnya, ingatan tentang kaki sang ibu menginjak-injak tubuh kecilnya.Â
Itu terjadi saat ia masih berusia sepuluh tahun. Hanya karena ketika ibunya meneriaki namanya untuk mengangkut air, ia sendiri tertidur karena kelelahan sepulang sekolah.
Berang. Ibunya yang merasa suara kerasnya itu tak diopeni sang anak, tiba-tiba datang dengan sebilah kayu seukuran betis orang dewasa.Â
"Bak! Buk! Bak! Buk!"
Diikuti dengan sederet sumpah serapah yang mengiringi ayunan kayu ke arah badan bocah sepuluh tahun itu. Ia masih mengira itu cuma mimpi buruk semata, karena dalam setengah sadarnya ia masih ingat tadi ia tidur masih dengan seragam sekolahnya.
Ia baru menyadari ini bukan mimpi buruk yang datang dalam tidurnya, saat kepalanya membentur kerasnya lantai di sisi tempat tidurnya. Sedangkan kaki ibunya sedang menari dengan kemarahan membuncah, menginjak kepala dan tengkuk sang bocah.
Ia menahan air matanya. Menahan keinginan berteriak atas perasaan sakit mendera badan hingga kepalanya. Ia menyibukkan pikirannya dengan pertanyaan, "Ini beneran kaki ibuku? Beneran?"
Benar. Itu adalah kaki ibunya yang sedang menikmati kemarahan atas anak yang lancang karena tidak mendengar suara teriakannya untuk mengangkut ember air. Ya, ia lancang, karena kalah oleh kantuk, hingga indera pendengarannya tak bisa menangkap suara sekencang itu.
Maka, anak kecil ini pun memilih membiarkan saja kaki sang ibu menginjak-injaknya. Ia berusaha menenangkan diri dengan mengingat ulang, bagaimanapun dari sela kaki ibunya itu juga dia lahir. Terserah dialah mau melakukan apa saja terhadapnya.
Cara bocah ini menghibur diri seperti ini menguatkannya untuk menahan tangisan, menahan kesakitan, dan menahan perasaan terhina mendapati kepala di bawah kaki. Ia merelakan semua yang sedang terjadi itu.