Media sosial (medsos) turut andil mengangkat nama Presiden Joko Widodo. Bukan hanya belakangan ini, tapi sejak jauh-jauh hari beliau muncul di pentas nasional. Sejak beliau masih menjadi wali kota, gubernur, hingga menjadi presiden.
Apalagi, beliau sendiri pun selama ini aktif juga berbagi tentang kegiatannya, terutama di Instagram dan X (Twitter). Tambahan lagi, jumlah pengikutnya di kedua medsos ini terbilang luar biasa.Â
Di Instagram, Jokowi punya pengikut hingga 57,3 juta. Sementara di X mencatat 20,4 juta. Sebaliknya, di Instagramnya Jokowi tidak mengikuti akun siapa pun, berbeda dengan X, setidaknya ada 58 akun yang diikutinya. Itu juga sebagian besar adalah pejabat yang pernah membantunya, terutama menteri-menteri.Â
Namun yang menarik dicatat tentu saja bukan tentang pejabat-pejabat yang diikuti balik (folbek atau follow back) oleh Jokowi, melainkan bagaimana suara publik di setiap unggahan atau postingan beliau di berbagai medsos tersebut.Â
Mesti diakui, belakangan ini apa saja yang dimunculkan di akunnya cenderung mendapatkan respons negatif dari publik. Ada suara-suara kekecewaan hingga kemarahan. Bukan hanya dari kalangan masyarakat yang memang dari dulu menentangnya, melainkan juga dari kalangan yang pernah mendukungnya.
Bahkan pendukung hardliners atau pendukung garis keras Presiden Jokowi, kini cenderung paling keras menentangnya. Logis, karena bagaimanapun, berbicara tentang kondisi terkini, di antara kalangan paling merasa terpukul adalah mereka yang pernah mendukungnya.
Mereka kecewa karena sikap Presiden Jokowi yang terbuka menunjukkan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Mereka kecewa atas vulgarnya permainan politik. Mereka kecewa karena merasa, diibaratkan permainan, sosok yang mestinya menjadi "wasit" justru tak bisa menjaga netralitasnya.
Tetapi ini tentu saja bukan hanya kegelisahan yang menyeruak di medsos semata. Itu juga digaungkan oleh berbagai tokoh dan cendekiawan yang gelisah dengan pemandangan di tahun politik.Â
Di koran Kompas, misalnya, kegelisahan para tokoh dan cendekiawan ini muncul nyaris setiap hari. Berbeda dengan medsos, suara tokoh dan cendekiawan ini tentu saja lebih halus dan lebih santun, untuk menegur fenomena yang justru kasar dan telanjang.
Terkini, di halaman depan Kompas, pada kolom Renungan Pemilu, terdapat artikel Gus Mus (KH Ahmad Mustofa Bisri) yang berjudul Jangan Berlebih-lebihan. Kolom ini sudah muncul sepanjang sepekan terakhir yang diawali dengan artikel Yudi Latif bertajuk Memperjuangkan Pemilu Berkualitas.Â
Dari ketujuh tokoh yang bersuara di sana, semuanya membawa suara yang mereka tangkap di arus bawah. Para tokoh dan cendekiawan ini tampaknya mewakili suara nurani semua orang.Â
Selayaknya nurani, suara di dalam sana memang tidak kencang, bahkan cenderung sangat pelan. Takkan terdengar, terlebih jika tidak terbiasa mendengar. Tak terbaca, terlebih jika mata tak terbiasa membaca.
Terkadang, sejujurnya, terpikir juga di tengah semua itu entah mana yang lebih digubris oleh Presiden Jokowi: suara media sekelas Kompas yang isi berita dan opininya pun benar-benar dari ahli di bidangnya, atau lebih ke suara gaduh di media sosial?Â
Di manapun, di sana ada suara masyarakat yang coba diwakili tokoh/cendekiawan melalui media arus utama hingga media sosial. Namun bedanya, di media sosial nyaris tak lagi mengenali pakar dan bukan, melainkan hanya siapa yang paling berpengaruh dan bersuara paling kencang di tengah keramaian. Ini yang dalam istilah Tom Nichols sebagai pemandangan the death of expertise yang juga menjadi judul buku populer pernah ditulisnya.
Syukur-syukur jika semua itu tak menghalangi mata seorang presiden untuk bisa menangkap pesan-pesan yang datang dari relung nurani bangsa yang masih dipimpin olehnya selama hampir 10 tahun ini. Sebab, terlepas oleh pakar dan tokoh, atau dari masyarakat biasa yang cuma bisa bersuara di medsos, di sana ada suara-suara tulus yang berharap dapat menggugah.Â
Di antara suara paling penting itu adalah untuk tetap dapat menempatkan bangsa dan negara ini jauh di atas keluarga. Memberikan porsi perhatian lebih besar kepada nurani bangsa yang masih berharap kebaikan yang akan menang. Kebaikan untuk semua orang, bukan kebaikan untuk segelintir orang.
Sederhana. Hanya itu sebenarnya yang paling diinginkan penghuni negara sebesar Indonesia ini, agar ambisi pemimpinnya mewakili ambisi mereka sebagai anak-anak bangsa.Â
Itu juga diperkuat lagi dengan sumpah saat dilantik menjadi presiden di mana terdapat beberapa kata kunci, selain melibatkan nama Tuhan. "Demi Allah saya bersumpah, akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden RI dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD 45 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa..."
Dalam sumpah itu ada penegasan tentang prinsip adil dan lurus. Kembali mengingat sumpah ini tentu saja penting. Sebab jika tidak, seperti kejadian pemimpin di masa lalu, tak sedikit yang justru berbalik disumpahi rakyatnya sendiri.Â
Semoga saja yang terakhir ini tidak terjadi, dan ini juga tampaknya iktikad baik dari tokoh dan cendekiawan hingga rakyat biasa, melalui kolom terhormat di media sekelas Kompas hingga kolom komentar media sosial Jokowi sendiri.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H