tahun politik memang lebih familiar di kuping banyak orang. Buat saya, tetap lebih menarik menggunakan term tahun politis sajalah. Apalagi, tidak dosa-dosa amatlah sesekali menggunakan bahasa suka-suka sepanjang tetap bersahabat dengan petunjuk kamus bahasa. Kali ini sosok Aldi Taher dengan beritanya di mana-mana bikin gatal tangan saya untuk kembali menulis.
IstilahYa, sudah lumayan lama saya tidak menulis, kecuali di beranda media sosial seperti facebook dan twitter saja di sela-sela kesibukan sehari-hari, meskipun belum sesibuk pengusaha kaya raya. Hanya lantaran mencuatnya berita seputar Aldi Taher saja, jadilah ikut tergelitik dan ingin mengetik, sembari berusaha untuk tak mengkritik.
Tak ada yang perlu dikritik dari kehadiran sosok Aldi Taher di dunia politik. Hanya karena namanya menjadi nama paling sering seliweran di tengah seabrek nama yang muncul di dunia politik, beneran bikin saya tergelitik.
Sebab, terlepas kualifikasi sosok selebritas ini dengan segala kontroversi dimiliki, ia mampu membawa kegembiraan tersendiri dibandingkan seabrek politisi.
Aldi Taher melampaui banyak politisi berpengalaman. Saat mereka sibuk memamerkan kelebihan masing-masing, Aldi Taher memilih memamerkan kekurangannya. Kala yang lain melakukan segala cara agar dipilih, ia justru meminta agar orang-orang jangan memilihnya.Â
Kala politisi kebanyakan menghasut banyak orang untuk berdebat dan ikut-ikutan menghasut, Aldi Taher mengubah dengan caranya menjadi lebih berirama menyenangkan selayaknya dangdut.
Tak kurang penting untuk digarisbawahi, di saat dunia politik kental kepura-puraan, Aldi Taher mampu menampilkan diri apa adanya.Â
Ini senada dengan kritikan yang disisipkan mendiang Slamet Effendy Yusuf dalam resensi buku Menjadi Pemimpin Politik-nya M. Alfan Alfian (Kompas, 11 September 2009). Eks Waketum PBNU tersebut meluapkan perasaan mirisnya di sana.
Menurut beliau, politisi-politisi terkadang tidak mempersoalkan kepatutan. Tidak sedikit di antara politisi kurang memahami bahwa politik adalah panggilan dan pengabdian.Â
Selain itu, beliau juga menegaskan fenomena bagaimana setiap menjelang pemilu pasca-1998, baik pemilu legislatif ataupun pemilihan kepala daerah, bahkan pemilihan presiden, masyarakat dihadapkan pada berbagai atraksi para elite politik. Namun tak sedikit dari mereka menunjukkan itu, kurangnya pemahaman bahwa politik adalah panggilan dan pengabdian.
Aldi Taher di sini bisa jadi dipandang "bukan siapa-siapa" terlebih di mata banyak politisi berpengalaman. Namun ia seperti didatangkan oleh kehendak alam dengan menonjolkan pesan; tidak ambisius, tidak menunjukkan hasrat menjadi orang penting, tapi punya semangat melayani.Â