Hujan mulai turun. Pelan-pelan mulai menderas. Sementara di bawah tenda berukuran sekitar 10 x 6 meter, penuh dengan dengan orang-orang yang terlihat serius.Â
Di atas panggung yang hampir tak berjarak dengan pengunjung, empunya Rumah Perubahan, Prof. Rhenald Kasali, yang sedang berbicara, benar-benar menghipnotis mereka.Â
Meskipun sebenarnya, guru besar Universitas Indonesia ini tak selalu serius membahas seputar dunia usaha. Sekalipun isi pikiran yang ia lemparkan tetap serius, beliau sempat berkali-kali menyisipkan candaan-candaan renyah.
Tak ayal, meskipun cuaca seperti sedang tak ramah, pembicara dan pengunjung acara yang dihelat Briefer.ID ini sama-sama semringah.Â
Aku sendiri kali ini hanya bisa menyaksikan beliau bicara di depan sana dari jarak yang agak jauh. Hampir tak ada celah untuk bisa lebih dekat. Ya, saking penuhnya pengunjung yang datang ke acara ini.Â
Sambil menyimak isi pembicaraan beliau di depan sana, di benakku sendiri sempat terbetik rasa antusias sekaligus bangga.Â
Bagaimana tidak bangga, aku bisa jadi bagian mereka yang tetap bergairah dengan ilmu pengetahuan. Terlebih lagi, di depan sono tuh, sedang dibedah "urusan dapur" bagaimana tetap bisa berasap. Eh.
Kuamati ekspresi pengunjung di sana, terlebih saat hujan mulai semakin deras. Antusiasme mereka tak kalah deras.Â
Hampir tak ada yang menyibukkan diri dengan gawai yang mereka punya. Sejujurnya, pemandangan ini terbilang sangat langka di tengah tren di mana gawai telah menjadi candu di mana-mana, masih ada orang-orang yang hampir tak menggubris gawainya.Â
Sementara sebagian besar dari mereka adalah anak-anak muda yang baru mau memulai bisnis, atau baru menjajaki ranah wirausaha. Mereka mematahkan pandangan bahwa anak muda kini tak bisa lepas dari handphone.
Soal ini sempat jadi catatan beliau juga di salah satu bukunya: The Great Shifting, yang beliau rilis pada 2018 lalu.Â
Di sana, buku itu, beliau menyorot bagaimana keberadaan gawai bikin banyak orangtua pun terkadang berjarak dengan anak.Â
Satu sisi seorang ibu tetap menyusui, sebagai contoh, namun di sisi lain tangan sibuk dengan handphone dan media sosial.
Berubah. Beda dengan dulu, sambil menyusui bayi masih sempat mengusap kepala hingga memeluk anaknya.
Namun kali ini, kusimak ada semacam ekspresi lega di wajah pendiri program doktoral manajemen strategis di Universitas Indonesia itu. Ya, lega mungkin karena bisa melihat di depannya banyak orang tak lagi larut dengan gawai, dan masih menunjukkan minat besar untuk belajar.
Ya, meskipun tak ada larangan untuk menggunakan gadget atau gawai mereka di sana, mereka memilih menepikan gawai di tangan. Hanya fokus pada suara Prof Rhenald yang pelan-pelan mulai bersaing dengan suara hujan.
Terlebih saat Prof Rhenald mengajak berkontemplasi. "Sekarang, semua bisa saja berwirausaha. Tetapi, dalam lima tahun ke depan, siapa yang masih bertahan, atau tutup!"Â
Tampaknya, pengunjung yang memang rata-rata adalah pelaku usaha, ikut membayangkan kemungkinan ke tahun-tahun mendatang. Termasuk aku sendiri, tentunya.
Prof Rhenald memberikan contoh dari pengalamannya sendiri, terutama di Rumah Perubahan yang dijalaninya.
"Saya di sini membangun tempat pernikahan untuk orang Batak. Kapasitasnya seribu orang." Ia membuka ceritanya.
Gedung itu, kata beliau, memiliki tempat khusus untuk orang Batak untuk menjalani upacara adat hingga berbagai ritual. Di bagian lain gedung ini, dikhususkan untuk tamu-tamu nasional, non-Batak.Â
Prof Rhenald mengaku dirinya merasa bahwa gedung khusus upacara adat Batak ini khas. Ada keunikan dan berbagai kelebihan tersendiri.
"Gedung itu enam bulan dibikin sudah jadi. Tak lama setelah itu, tidak jauh dari sini, sudah ada gedung lain yang persis ini," kisahnya.
Jadi, katanya, jangan pernah merasa bahwa sebuah gagasan dalam bisnis akan dibiarkan pesaing begitu saja.Â
"Katakanlah saya bisa bikin gedung itu dalam waktu enam bulan. Orang lain bisa membikinnya dalam waktu empat bulan."
Maka itu, kata beliau, jangan pernah kaget jika dalam waktu begitu cepat ada pesaing datang. "Bahkan, di salah satu tempat itu, sebelumnya adalah kantor pemasaran, belakangan juga jadi tempat wedding (pesta pernikahan)," katanya.
Ia mengingatkan bahwa jika seseorang sukses dalam membangun sebuah usaha, akan selalu begitu, akan ada saja pesaing yang juga siap menyalip.
Gaya Prof Rhenald dalam "story telling", memasukkan pesan lewat cerita, lagi-lagi terbukti mampu menyihir audiensnya di sana. Hujan yang semakin deras, seperti tak mengusik pengunjung di sana.
Survive setelah pandemi?
Menurutnya, satu sisi, masalah dihadapi semua adalah sama. Ya, sama-sama menghadapi pandemi. Namun soal masalah sejatinya, tidak sama.
Sebab, banyak juga bisnis yang justru melejit di tengah pandemi. Sebagian lainnya justru tersuruk dan terpuruk.
Ini juga selaras dengan pandangan Thomas Robert Maltus, yang juga dikutip oleh Prof Rhenald di buku Shifting.
Ya, akan ada masa di mana manusia menghadapi berbagai ketakutan, terutama terkait urusan pangan. Urusan perut dan bagaimana mengisinya. Bahwa kemampuan bumi menghasilkan pangan kalah oleh cepatnya pertumbuhan penduduk.
Ketakutan atas kemungkinan itu, bahkan ancaman begitu, menurut Maltus justru dibutuhkan. Bahkan selalu dibutuhkan. Sebab ketakutan dengan kemungkinan itulah yang justru bikin inovasi muncul. Berbeda jika manusia hanya menghadapi hal-hal yang terus menggembirakan, ini justru melenakan. Inovasi bisa mati.
Di luar cerita dari buku beliau, di depan ratusan orang yang menyimaknya di lokasi dan melalui YouTube, soal dampak pandemi, ia mengajak melihat Bank Jago yang justru melejit di tengah pandemi. Di sisi lain, usaha penerbangan justru jatuh.Â
Jadi, katanya, sebenarnya masalah yang dihadapi tidak benar-benar sama sepenuhnya. Selain ada soal nasib yang berbeda, juga ada tingkat keruwetan yang juga berbeda.
"Lalu bagaimana supaya bisa survive? Pesan saya, jangan diam," ia menggarisbawahi. Sekaligus, ini juga mengingatkanku pada buku beliau yang rilis 17 tahun lalu, CHANGE!
Di buku itu sendiri, ia mengingatkan bahwa banyak pilihan yang diberikan oleh perubahan itu. Ikut berubah, diam, melawan, atau diubah.
Namun kali ini, ia lebih menekankan untuk tidak diam.
"Misal, jika ada tempat di mana ada bazaar, datengin. Ikut saja. Itu bisa jadi ajang untuk promosi. Dulu, kita cenderung fokus hanya pada produksi. Sekarang, kita harus bisa produksi sekaligus mobilisasi."
Bergerak dan menggerakkan. Setidaknya itulah clue yang kutangkap saat beliau membedah soal mobilisasi untuk membuka jalan agar sebuah usaha bisa survive.Â
Tak lama, ia terlihat mengacungkan gawainya ke atas kepala, menunjukkan kepada audiens. "Dengan apa mobilisasi? Pake ini!" mengacu gawai tersebut.
Tapi, ia juga mengingatkan, jangan sampai ikut-ikutan supaya sama dengan orang lain.Â
"Kalau orang lain pakai kata cuan, Anda jangan pakai cuan," katanya lebih jauh. "Jangan bikin orang eneg. Tetapi, bikin orang merasa hepi."***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H