Lebih dari tiga puluh tahun lalu mengawali kehidupan di dunia pendidikan, terlalu banyak pelajaran kudapat. Tak hanya dari dalam kelas demi kelas, tapi juga dari kehidupan guru-guruku sendiri.
Ya, sebagian guruku saat itu bertemperamen keras. Tak segan-segan mereka menghukumi murid-muridnya dengan keras.Â
Dari sekadar berdiri di depan kelas, pukulan rotan, dilempari penghapus, hingga ditampar.Â
Menakutkan, dan bahkan terkadang terasa mengerikan. Itulah sebagian kesan dan masih mengesankan buatku yang menempuh pendidikan dari dasar hingga kuliah di AcehÂ
Buatku sendiri, tak ada yang perlu didramatisasi dari semua pengalaman semacam ini. Kurasa, tak perlu juga menyalahkan para guru yang mendidik dengan keras.
Sebab di masa itu, pemandangan seperti itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Hampir semua pernah mengalaminya.
Dalam kacamata hari ini, dimaklumi jika semua itu terlihat sebagai pemandangan buruk. Tetapi buat yang menjalani pendidikan di masa itu, tidak juga benar-benar buruk.
Sebab pada akhirnya, semua pendidikan yang terasa keras itu menjadi semacam "pelatihan" bagi anak-anak menghadapi hidup yang keras.
Ada perjalanan menuju masa depan yang tak hanya menuntut kemampuan otak bekerja keras. Tapi juga ada tuntutan supaya mental pun cukup kuat menahan tamparan hidup yang jauh lebih kuat dari tamparan guru di ruang kelas.
Ya, dulu sempat muncul rasa sakit hati saat menerima perlakuan seperti itu dari guru sendiri. Apalagi ada satu dua kasus, teman sendiri yang bersalah, kita sendiri ikut kena hajar.Â
Namun seiring perjalanan waktu, rasa sakit hati berganti dengan terima kasih. Sebab dari pengalaman yang dulu yang terlihat buruk, ada banyak pesan menguatkan untuk menapaki masa depan.
Ketika dihajar oleh hidup, ditampar oleh banyak kenyataan, ditendang oleh realitas, tak lantas tumbang begitu saja.Â
"Guru-guruku tidak cuma memberi pelajaran di kelas, tetapi mereka juga memberi pelajaran untuk siap menghadapi hidup yang keras."
Cuma itu yang melintas di pikiran setiap kali menghadapi kehidupan yang keras; persaingan, pertarungan, konflik, hingga bagaimana bersikap saat kalah atau menang.Â
Buatku tidak ada yang mesti disalahkan dari tren pendidikan di masa itu, meskipun pemandangan ini bisa terlihat ganjil di masa kini.
Tak ada dendam untuk para guru, sosok-sosok yang mengajar dengan segala kelebihan-kekurangan sebagai manusia.Â
Terlebih lagi, kalaupun ada guru bersikap keras, biasanya hanya ada satu-dua di setiap jenjang sekolah.Â
Suara keras mereka dibutuhkan untuk masa itu saat kemauan bersekolah dan alasan untuk tetap bersekolah pun tak dimiliki banyak anak. Para guru inilah yang mengingatkan, "Woy! Ada kehidupan yang jauh lebih keras yang kelak kalian hadapi. Jangan cengeng! Jangan manja!"
Hari ini, wajah-wajah guruku terutama dari jenjang Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP), hingga Aliyah (SMA), melintas satu per satu di pikiranku.Â
Mereka semua sudah menua. Ada banyak juga yang sudah meninggal dunia.Â
Untuk kalian semua, para guruku, terima kasih sebesar-besarnya untuk segala bekal menghadapi dan memenangkan hidup. Muridmu ini masih rajin mengirim doa terbaik buat kalian semua.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H