Namun seiring perjalanan waktu, rasa sakit hati berganti dengan terima kasih. Sebab dari pengalaman yang dulu yang terlihat buruk, ada banyak pesan menguatkan untuk menapaki masa depan.
Ketika dihajar oleh hidup, ditampar oleh banyak kenyataan, ditendang oleh realitas, tak lantas tumbang begitu saja.Â
"Guru-guruku tidak cuma memberi pelajaran di kelas, tetapi mereka juga memberi pelajaran untuk siap menghadapi hidup yang keras."
Cuma itu yang melintas di pikiran setiap kali menghadapi kehidupan yang keras; persaingan, pertarungan, konflik, hingga bagaimana bersikap saat kalah atau menang.Â
Buatku tidak ada yang mesti disalahkan dari tren pendidikan di masa itu, meskipun pemandangan ini bisa terlihat ganjil di masa kini.
Tak ada dendam untuk para guru, sosok-sosok yang mengajar dengan segala kelebihan-kekurangan sebagai manusia.Â
Terlebih lagi, kalaupun ada guru bersikap keras, biasanya hanya ada satu-dua di setiap jenjang sekolah.Â
Suara keras mereka dibutuhkan untuk masa itu saat kemauan bersekolah dan alasan untuk tetap bersekolah pun tak dimiliki banyak anak. Para guru inilah yang mengingatkan, "Woy! Ada kehidupan yang jauh lebih keras yang kelak kalian hadapi. Jangan cengeng! Jangan manja!"
Hari ini, wajah-wajah guruku terutama dari jenjang Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP), hingga Aliyah (SMA), melintas satu per satu di pikiranku.Â
Mereka semua sudah menua. Ada banyak juga yang sudah meninggal dunia.Â
Untuk kalian semua, para guruku, terima kasih sebesar-besarnya untuk segala bekal menghadapi dan memenangkan hidup. Muridmu ini masih rajin mengirim doa terbaik buat kalian semua.***