Kepergian Didi Kempot di pekan pertama bulan Mei 2020, bagi saya bukanlah cerita kesedihan. Ia punya cerita kematian yang bikin banyak orang merasa iri, karena masih sempat mengabdi kala Covid-19 bikin banyak orang larut dalam rasa ngeri.
Bagaimana tidak bikin iri, jika bisa menjalani hidup sebaik-baiknya, kala menjemput mati pun sempat meninggalkan kesan sebaik-baik kesan. Tak banyak orang mampu menjemput kematian dengan cara ini.Â
Hampir tidak ada yang mengungkit celanya, meskipun sebagai manusia biasa pastilah ia punya kekurangan selayaknya manusia. Di mana-mana orang mengenang kebaikannya. Di sinilah terasa, ia sukses menjalani hidup, dan sukses juga menebus segala dosa sebagai manusia biasa.
Inilah yang bikin iri. Bikin kita bertanya-tanya, akankah kelak mampu untuk mati dengan cara ini? Mati setelah melakukan kebaikan yang indah adalah seindah-indah kematian.Â
Seniman tarik suara ini tak hanya mampu menulis lagu yang indah, tapi sekaligus menulis kehidupan dan kematian dengan indah.Â
Tidak sekadar perjuangan hidupnya yang penuh cerita keringat dan semangat hidup. Kematiannya pun mampu menyusupkan semangat kepada fans atau siapa saja yang mengenalnya, bagaimana sebaik-baik hidup dan mati; berjuang sekuat tenaga, menikmati hasil perjuangan dalam hidup hingga mati.
Ia pergi setelah tidak ada beban lagi. Lewat kemampuannya menghibur, ia sempat membawa pesan penting untuk saling menyelamatkan. Dari ajakan untuk tidak mudik karena alasan mencegah wabah corona semakin mewabah, ia pun mampu bikin banyak orang tergugah.Â
Ia mampu bikin orang tak hanya melihat kesusahan sendiri di tengah situasi ini, namun mau melihat yang lebih susah. Tidak melalui mimbar khutbah, melainkan lewat nyanyian seputar hati yang gundah, gelisah, dan resah. Ya, lewat lagu-lagu tentang hati yang patah.Â
Siapa yang tidak akan iri jika bisa hidup dan mati dengan jalan seperti ini?Â
Dulu, di masa-masa awal ia membangun kariernya, kesehariannya adalah cerita kehidupan pengamen jalanan. Jalanan di Slipi dan Palmerah di Jakarta menjadi bagian saksi sejarah, bagaimana ia bertarung di jalanan Jakarta, menjual suara dengan penghasilan ala kadarnya.Â
Namun, tampaknya dalam perjalanannya berjuang, ia tidak hanya menjual kebolehan. Ia juga tidak sekadar mencari rupiah demi rupiah. Ia belajar mengasah kepekaan.
Sebab di sepanjang jalanan yang pernah ia tapaki, ia leluasa melihat banyak orang susah, orang-orang yang terpaksa pasrah, dan hidup yang kerap memaksa banyak orang menyerah.
Dari sanalah kepekaannya, saya rasa, sangat terasah.Â
Maka kenapa pemilik julukan "The Godfather of Broken Heart", dalam banyak kesaksian sahabatnya, termasuk Rosiana Silalahi sampai Blontank Poer, disebut-sebut bahwa ia tak peduli seberapa jatahnya dari konser dari rumah untuk korban corona. Ia sudah terlihat cukup bahagia ketika tahu, hasil dari kemampuannya tarik suara mampu mendulang bantuan miliaran hanya dalam hitungan jam.
Bisa begitu, karena hampir pasti bahwa ia lebih memikirkan banyak orang yang perlu bantuan alih-alih memikirkan diri sendiri.
Kita ingat, bagaimana di tengah corona, masih banyak orang hanya mencari cara agar bisa menangguk keuntungan. Tidak sedikit yang mengejar untung hingga melupakan penderitaan banyak orang; menumpuk barang, menjual masker hingga sanitizer dengan harga berlipat ganda. Cuma untuk mengejar untung.Â
Didi Kempot menjadi antitesis bagi kecenderungan banyak orang yang ingin menyelamatkan diri sendiri, kantong sendiri, nyawa sendiri.
Ia justru masih sempat mengajak melepaskan pemujaan berlebihan terhadap diri sendiri, dan mau membuka hati untuk melihat sesama. Sebab, sekali lagi tanpa khutbah, ia berhasil membuat orang mengarahkan tatapan ke arah orang-orang yang lebih susah dan lebih membutuhkan.
Di dunia hiburan pun, saya rasa, ia juga mewariskan pesan penting; bahwa mereka yang bekerja di dunia hiburan tak melulu hanya untuk mengejar kesenangan. Namun menyenangkan orang-orang, menghibur orang-orang, terlebih kala kesusahan. Sekaligus mau untuk turun tangan.
Sebab akhirnya, hidup berharga bukan sekadar menumpuk benda berharga saja, namun bisa melakukan sesuatu yang berharga. Lord Didi adalah orang yang berhasil membuktikan itu, sebagai sebuah cara hidup yang tak biasa di tengah dunia hiburan yang acap menyilaukan banyak mata.
Lord Didi, kami pengagummu berterima kasih tidak hanya atas segala karyamu untuk Sad Bois dan Sad Girls, tapi juga untuk sebuah pelajaran penting sebagai manusia. Hidup untuk kemanusiaan, dan mati bersama nilai kemanusiaan, tanpa perlu mengejar sebutan sebagai pahlawan.Â
Inilah kematian yang memang bukan kisah kesedihan. Sebab ia sudah turut bekerja mencegah banyak orang dari kematian yang mengundang lebih banyak kesedihan. Selamat jalan, pahlawan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H